Selasa, 28 April 2015

menyerah

Sudah gak tahan lagi. Sudah capek. Sudah pengen nyerah.” Begitu kira-kira pesan dari seorang teman di Tweeter. Setelah membacanya, saya terdiam dan mencoba untuk memberi komentar atas pesan bernada keluh kesah itu.

Sebelum melayangkan komentar, saya melakukan kilas balik pada sebuah peristiwa yang sedang saya alami. Sesuatu yang menjengkelkan. Karena, saya dibuat sedemikian rupa menjadi terdakwa dari sebuah kesalahan besar yang tidak saya lakukan. Gondoknya setengah hidup. Betul-betul membuat saya dua hari tak bisa tidur.

Mungkin sama gondoknya dengan orang-orang yang kini didakwa mesum. Padahal, menurut saya, yang justru paling mesum dan yang paling tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial, yaa… manusia yang dengan kurang ajarnya memublikasikan perbuatan yang katanya maksiat itu, dan sejuta orang lainnya yang turut dalam euforia menjalarkan video itu makin ke mana-mana.

Mengingat peristiwa yang menimpa saya itu, makin membuat saya jengkel karena saya baru pulang dari menikmati liburan. Kemudian saya protes kepada yang mengorganisasi setiap momen dalam hidup saya itu. Kenapa sih, kok, seneng banget lihat saya ini susah. Kok rasanya mau tentrem sebentar saja susah.

Sampai pada suatu hari saya kelelahan. Kelelahan protes. Kemudian saya memutuskan untuk menyerah. Menyerah pada keadaan seperti seekor sapi yang tak bisa apa-apa berjalan ke tempat pembantaian. Dan menit saya memutuskan untuk menyerah, saya terlepas dari beban menjengkelkan itu.

Saya berhenti komat-kamit menaikkan protes dan demo kepada Sang Khalik. Saya tak tahu kalau sapi, apa setelah dibantai ia merasa lega karena mati. Mungkin melihatnya harus berbeda. Ia mati untuk saya. Supaya saya bisa menikmati enaknya rawon dan selad Solo.

Pada saat saya menyerah, saya baru bisa berpikir mengapa saya gondok? Karena, saya masih mau mencari celah untuk memenangkan, bahkan kalau bisa meniadakan peristiwa itu. Celah untuk memperbaiki nasi yang telah jadi bubur itu. Pada saat saya membiarkan kalah, saya tahu adalah sebuah kekeliruan besar mau mengubah bubur jadi nasi lagi.

Bubur ayam
Selama hidup saya dicekoki nasihat supaya jangan sekali-kali menyerah pada keadaan. Tapi, kali ini saya membiarkan untuk berhenti mengaminkan nasihat yang kelihatannya mulia itu, tapi menjerat saya semakin frustrasi dan melelahkan. Berjuang terus itu menghabiskan energi, ada masanya seseorang membutuhkan waktu rehat. Itu mengapa tidur diperlukan dan sebuah bukti betapa tidak berdayanya saya melawan kantuk.

Saya dibiarkan menyerah kalah agar setelah itu saya menjadi manusia seutuhnya. Jadi, kalau ditanya bagaimana rasanya asam, manis, dan pahit, kalah dan menang, paling tidak saya tahu. Maka, benarlah kalau hidup itu penuh dengan sejuta rasa, dan berjuta rasa.

Setelah menyerah, saya tertidur lelap. Edan saya pikir, la wong kalah kok saya malah terbebaskan. Jadi untuk gain itu tak selalu harus pain. Mau selalu menang itu mengeringkan tulang dan menenggelamkan jiwa. Menyerah kalah itu melepaskan beban, dan sebuah masa mengumpulkan energi baru untuk berdiri kembali, dan tidak untuk dipakai melawan hal yang lama tadi.

Keadaan yang saya hadapi tak berubah, masih harus dihadapi dengan banyak jalan berliku. Tetapi, hal paling menyenangkan dari menyerah kalah adalah melihat peristiwa yang sama dengan lensa mata yang berbeda.

Namanya juga menyerah dan kalah, yaa... saya rela-rela saja untuk membiarkan semuanya terjadi, membiarkan ada yang mengobok-obok hidup saya meski setiap hari saya panjatkan sebuah permohonan agar saya itu dilindungi dari yang jahat, dari yang berniat mengurangajari saya.

Saya kalah sama sapi. Saya yakin mereka tak pernah memanjatkan permohonan untuk tidak dibantai. Mereka punya mental lahir untuk dibantai, yaaa… supaya saya dan Anda bisa menjadi sehat.

Kalau sudah rela, saya cuma tinggal menjalaninya seperti mengikuti aliran air, tanpa berniat melawan arus dengan sejuta rekayasa, atau balas dendam. Kalah itu menang. Di situasi tak berdaya itu, Tuhan memberikan lensa yang terang untuk melihat kekalahan dari sisi yang lain. Maka, demo kepada Sang Khalik itu semestinya memang tak perlu ada.

Kalah yang menenangkan dan memenangkan itu adalah membiarkan nasi menjadi bubur, dan melihat bubur, kemudian timbul ide untuk menambahkan ke dalamnya potongan ayam, kecap manis, daun bawang, telor setengah matang, dan kuah kaldu. Maka, pada situasi itulah saya bersyukur bahwa dalam hidup ini nasi bisa jadi bubur. Uenak!

Maka, kepada teman saya di Tweeter, saya membalasnya demikian. Nyerah saja. Menyerah itu menghilangkan capek. Setelah itu, saya mengambil iPod menutup lubang telinga dan memenuhi kepala saya dengan suara Joy Tobing menyanyikan It is well with my soul.

Parodi samuel

Tidak ada komentar:

Posting Komentar