Senin, 22 Agustus 2016

Bersyukur

Tanggal 25. Tepat setelah tanggal gajian yang mengalirkan pundi-pundi rupiah ke rekeningmu. Otakmu berhitung dengan cepat, mengkalkulasi pemasukan dan pengeluaran. Sembari tersenyum — sedikit geli, sedikit pilu: uang hasil kerja keras itu menguap begitu saja tanpa mau menunggu.

Tepat di momen kita sibuk mengeluh dan berkeluh kesah pada dunia yang sesungguhnya tak begitu suka dengan kisah berbalut duka Dia tetap bekerja dengan tangan ajaibNya.

Bukankah setiap uang menipis walau masih di awal bulan berarti kita diijinkan bekerja lebih keras dalam 20 hari ke depan. Kita berbaik sangka pada Tuhan bahwa Dia akan memberi keajaiban.

Ketika nilai ujian tak sesuai harapan atau kita gagal mendapatkan impian yang sudah gigih diperjuangkan, kita akan sama-sama diam dan bersyukur. Sebab Tuhan menginginkan kita jadi pejuang. Ia tahu kita hambaNya yang penyabar dan punya jiwa pemenang.

Bukankah tetap bersyukur di ruang penantian akan membuatmu bertahan tanpa merasa kelelahan?

Kami memilih bersyukur Tuhan,

Renungan kecil



Sedari belia tanpa sadar kita dibesarkan dalam program menjadi “manusia yang menghasilkan.” Lihat saja bagaimana sistem ranking, Ujian Nasional, sampai sistem penerimaan mahasiswa baru memaksa kita berlomba-lomba memperoleh nilai tertinggi. Jika nilai tidak mencukupi silahkan pergi, ambil giliran untuk masuk kategori warga kelas kedua .

Waktu berlalu. Kamu, saya: kita — beranjak jadi manusia dewasa. Definisi soal pencapaian berganti dengan segera. Bukan lagi soal nilai yang membuat orang-orang di sekitar bangga, harga diri kita kini ditentukan oleh apa yang kita miliki sebagai manusia.

“Lulusan universitas mana? Lulus berapa tahun? Cumlaude?”

Seperti tren fashion, pertanyaan itu akan berganti ketika sudah mulai bekerja dan sedang berusaha mapan sebagai orang dewasa:

“Kamu kerja apa?”

“Gajinya berapa?”

“Perusahaanmu menawarkan kompensasi apa saja? Menarik kah jaminan kesehatan dan kesejahteraannya?”

“Sudah punya rumah? Sudah punya uang muka untuk cicilan KPR?”

Sebagai manusia kita tak ubahnya etalase penuh lampu. Semua pencapaian tertempel di atas badan, dihiasi penerangan, agar orang tak dikenal pun bisa dengan mudah melihatnya dari kejauhan.

Dunia ini terlalu sibuk untuk meluangkan waktu, sehingga dia yang bergaji di bawah 2 juta karena menuruti idealisme dianggap pemalas. Dipaksa berlari, karena biaya cicilan rumah akan semakin tinggi dari hari ke hari.

Kamu, saya — kita adalah manusia yang pelupa. Kita terlalu sibuk dengan gawai mentereng di hadapan sehingga tak punya waktu untuk bermain peran. Bukankah ada kebaikan dari tangan yang lain di balik setiap pencapaian? Bukankah ada hal yang tak kasat mata yang sudah mengatur semuanya?

Sepintar apapun kamu jika kamu lahir di tengah keluarga petani tomat kepandaian itu maksimal akan berujung pada gelar SMK. Tak bisa dibanggakan untuk mendapatkan nilai A di mata kuliah Hukum Perdata.

Jika saja kamu tak punya uang untuk kuliah, kesempatan kerja jadi MT di perusahaan multi nasional ternama tak akan pernah tiba. Apa lagi membayangkan bisa dapat beasiswa — terlampau jauh rasanya.

 Kita terlalu sibuk menghitung. Sampai lupa bahwa dalam banyak hal kita hanya termasuk golongan manusia yang beruntung

Rendra