Selasa, 28 April 2015

pohon


Kalau diperhatikan, kok bisa ya pohon itu tetap berdiri kokoh meski diterpa panas maupun hujan? Padahal, kalau kita dihadapi dengan hal yang sama, mungkin kita sudah misuh-misuh duluan. Tapi, itulah intinya, mungkin begitu seharusnya kita menjalani hidup. Panas itu dijadikan sebagai bahan bakar untuk menghasilkan cadangan makanan, membantu kita tetap hidup. Dan ketika hujan datang, kita mungkin hanya perlu untuk meliuk bersama angin yang datang bersamanya, tidak menjadi kaku lalu patah. Hujan pun mungkin menyebabkan satu-dua ranting kita patah, tapi perhatikanlah bahwa mungkin itu adalah dahan-dahan tua, yang memang sudah waktunya untuk berganti dengan yang baru — yang lebih kokoh.

Di situ letak bedanya kita dan pohon. Pohon bersikap seperti itu mungkin hanya karena sudah kodratnya seperti itu, mengikuti apa yang seharusnya terjadi. Sedangkan kita, manusia, punya kebebasan yang diberikan Tuhan untuk memilih jalan kita sendiri — memilih cara kita menyikapi hidup. Kalau kita salah, mungkin saja “patah” adalah konsekuensi dari pilihan kita. Namun, kebahagiaan yang dapat kita rasakan ketika berhasil bersikap benar tentu merupakan berkah yang teramat besar.

menyerah

Sudah gak tahan lagi. Sudah capek. Sudah pengen nyerah.” Begitu kira-kira pesan dari seorang teman di Tweeter. Setelah membacanya, saya terdiam dan mencoba untuk memberi komentar atas pesan bernada keluh kesah itu.

Sebelum melayangkan komentar, saya melakukan kilas balik pada sebuah peristiwa yang sedang saya alami. Sesuatu yang menjengkelkan. Karena, saya dibuat sedemikian rupa menjadi terdakwa dari sebuah kesalahan besar yang tidak saya lakukan. Gondoknya setengah hidup. Betul-betul membuat saya dua hari tak bisa tidur.

Mungkin sama gondoknya dengan orang-orang yang kini didakwa mesum. Padahal, menurut saya, yang justru paling mesum dan yang paling tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan sosial, yaa… manusia yang dengan kurang ajarnya memublikasikan perbuatan yang katanya maksiat itu, dan sejuta orang lainnya yang turut dalam euforia menjalarkan video itu makin ke mana-mana.

Mengingat peristiwa yang menimpa saya itu, makin membuat saya jengkel karena saya baru pulang dari menikmati liburan. Kemudian saya protes kepada yang mengorganisasi setiap momen dalam hidup saya itu. Kenapa sih, kok, seneng banget lihat saya ini susah. Kok rasanya mau tentrem sebentar saja susah.

Sampai pada suatu hari saya kelelahan. Kelelahan protes. Kemudian saya memutuskan untuk menyerah. Menyerah pada keadaan seperti seekor sapi yang tak bisa apa-apa berjalan ke tempat pembantaian. Dan menit saya memutuskan untuk menyerah, saya terlepas dari beban menjengkelkan itu.

Saya berhenti komat-kamit menaikkan protes dan demo kepada Sang Khalik. Saya tak tahu kalau sapi, apa setelah dibantai ia merasa lega karena mati. Mungkin melihatnya harus berbeda. Ia mati untuk saya. Supaya saya bisa menikmati enaknya rawon dan selad Solo.

Pada saat saya menyerah, saya baru bisa berpikir mengapa saya gondok? Karena, saya masih mau mencari celah untuk memenangkan, bahkan kalau bisa meniadakan peristiwa itu. Celah untuk memperbaiki nasi yang telah jadi bubur itu. Pada saat saya membiarkan kalah, saya tahu adalah sebuah kekeliruan besar mau mengubah bubur jadi nasi lagi.

Bubur ayam
Selama hidup saya dicekoki nasihat supaya jangan sekali-kali menyerah pada keadaan. Tapi, kali ini saya membiarkan untuk berhenti mengaminkan nasihat yang kelihatannya mulia itu, tapi menjerat saya semakin frustrasi dan melelahkan. Berjuang terus itu menghabiskan energi, ada masanya seseorang membutuhkan waktu rehat. Itu mengapa tidur diperlukan dan sebuah bukti betapa tidak berdayanya saya melawan kantuk.

Saya dibiarkan menyerah kalah agar setelah itu saya menjadi manusia seutuhnya. Jadi, kalau ditanya bagaimana rasanya asam, manis, dan pahit, kalah dan menang, paling tidak saya tahu. Maka, benarlah kalau hidup itu penuh dengan sejuta rasa, dan berjuta rasa.

Setelah menyerah, saya tertidur lelap. Edan saya pikir, la wong kalah kok saya malah terbebaskan. Jadi untuk gain itu tak selalu harus pain. Mau selalu menang itu mengeringkan tulang dan menenggelamkan jiwa. Menyerah kalah itu melepaskan beban, dan sebuah masa mengumpulkan energi baru untuk berdiri kembali, dan tidak untuk dipakai melawan hal yang lama tadi.

Keadaan yang saya hadapi tak berubah, masih harus dihadapi dengan banyak jalan berliku. Tetapi, hal paling menyenangkan dari menyerah kalah adalah melihat peristiwa yang sama dengan lensa mata yang berbeda.

Namanya juga menyerah dan kalah, yaa... saya rela-rela saja untuk membiarkan semuanya terjadi, membiarkan ada yang mengobok-obok hidup saya meski setiap hari saya panjatkan sebuah permohonan agar saya itu dilindungi dari yang jahat, dari yang berniat mengurangajari saya.

Saya kalah sama sapi. Saya yakin mereka tak pernah memanjatkan permohonan untuk tidak dibantai. Mereka punya mental lahir untuk dibantai, yaaa… supaya saya dan Anda bisa menjadi sehat.

Kalau sudah rela, saya cuma tinggal menjalaninya seperti mengikuti aliran air, tanpa berniat melawan arus dengan sejuta rekayasa, atau balas dendam. Kalah itu menang. Di situasi tak berdaya itu, Tuhan memberikan lensa yang terang untuk melihat kekalahan dari sisi yang lain. Maka, demo kepada Sang Khalik itu semestinya memang tak perlu ada.

Kalah yang menenangkan dan memenangkan itu adalah membiarkan nasi menjadi bubur, dan melihat bubur, kemudian timbul ide untuk menambahkan ke dalamnya potongan ayam, kecap manis, daun bawang, telor setengah matang, dan kuah kaldu. Maka, pada situasi itulah saya bersyukur bahwa dalam hidup ini nasi bisa jadi bubur. Uenak!

Maka, kepada teman saya di Tweeter, saya membalasnya demikian. Nyerah saja. Menyerah itu menghilangkan capek. Setelah itu, saya mengambil iPod menutup lubang telinga dan memenuhi kepala saya dengan suara Joy Tobing menyanyikan It is well with my soul.

Parodi samuel

mencoba

Saya sedang duduk di tepi pantai di atas kursipanjang. Deburan air laut terdengar diselingi suara burung. Langit pulau dewata, seperti biasa, biru bersih dan indah. Angin sepoi-sepoi menciumi kulit dan makin membuat rasa malas itu menjadi-jadi.

Entah mengapa, di tengah suasana itu, saya teringat akan pesan dari seorang asisten desainer yang sangat rajin menyirami saya dengan pesan-pesan mulia yang menyemangati dan menggampar pada waktu yang bersamaan.Begini pesan mulia itu. ”I can accept failure but I can not accept not trying”.

Gagal
Kalimat itu menerbangkan saya pada masa lalu yang menjengkelkan karena trauma masa kecil oleh kepala sekolah yang membuat saya merasa ia harus bertanggung jawab terhadap ketidakmampuan saya memiliki kepercayaan diri sekarang ini untuk berani mencoba; karena tak bisa atau tak mau melihat dan menghargai kalau saya ini sudah mencoba dan gagal menjadi murid pandai.

Ada teman saya yang mengomentari saat saya berkeluh kesah soal yang satu ini. ”Kan, kamu sudah dewasa sekarang. Elo dong yang juga bersikap dewasa.” Benarkah demikian? Benarkah saya yang sekarang ini bisa tidak keder hanya karena saya dewasa dan bisa berpikir untuk tidak keder tanpa mengingat bahwa fondasi saya yang sesungguhnya begitu kedernya? Kalau saya tak bisa matematika dan sudah mencoba dan ternyata hasilnya cuma ya, gitu deh, mengapa saya dikelompokkan menjadi murid tidak pandai? Tak hanya guru di sekolah. Ayah saya saja pernah menggertak dan naik pitam karena saya tak bisa menjawab pertanyaan ilmu pengetahuan alam yang disodorkan kepada saya. Saya sudah berusaha, tetapi tak bisa.

Kemampuan saya tak pada yang eksak, tetapi pada yang tidak eksak, yang umumnya sangat tidak dihargai sebagai juara kelas. Namun, sepertinya ia tak mau tahu. Maka, ia berteriak dan saya makin tak bisa menjawab. Kemudian saya berpikir, apakah quote-quote indah yang mengajarkan berpikir positif itu benar adanya? I can accept failure, misalnya. Saya, sih, bisa-bisa saja menerima kegagalan. Itu sudah pasti. Lha, wong hidup saya sendiri, kok. Akan tetapi, masalahnya, apakah guru, kepala sekolah, dan ayah saya mau menerima kalau saya gagal?

Tetap gagal
Menurut pengalaman saya, sih, mereka tidak mau dan tidak bisa menerima. Buktinya? Pengelompokan terhadap murid pandai dan tidak, saya di-kumon-kan (meminjam istilah sekarang) supaya saya bisa sama pandainya dengan anak tetangga dan, kalau sudah semua dilakukan dan saya tetap gagal, mereka kemudian berteriak begini. ”Gitu aja ndak bisa.” Saya jadi teringat akan obrolan dengan seorang teman beberapa hari sebelum peluncuran film perdana pada akhir bulan lalu, di mana saya berperan sebagai bintang utama sebuah film semidokumenter. Begini ia mengirim pesannya. ”Bagaimana, uda siap dihina tanggal 31? Ha-ha sudah siaplah. Orang dari lahir juga selalu dihina-hinakan ha-ha-ha-ha.” Kemudian pesannya dilanjutkan begini. ”Aku sih berdoa sukseslah. You have to start from nothing to become something.”

Saya hanya berpikir, kalau seandainya guru dan ayah saya bisa berpikir seperti teman saya, mungkin saya menjadi orang yang paling berbahagia. Berbahagia karena dihargai karena mencoba dari nol dari nothing, bukan dinilai karena bermain buruk. Dinilai karena saya berani mencoba, bukan takut kalau hasilnya tidak menyenangkan banyak orang dan kemudian merasa tertekan pada akhirnya. I can not accept not trying. Kalau dari kacamata saya sebagai yang tertindas, saya setuju bahwa semua orang harusnya mau melihat bahwa saya udah mencoba. Namun, apakah guru dan kepala sekolah serta ayah saya bisa setuju dengan kalimat itu? Persis seperti quote lain macam begini. The most important thing is not the destination but the journey. Benarkah guru, ayah saya, dan orang lain mau menghargai the journey, dan the trying-nya itu, dan bukan hanya semata-mata destinasinya alias hasil akhirnya? Itu mengapa saya harus berpikir untuk tidak keder meski sejujurnya saya selalu keder. Maka, saya mengerti mengapa kalau dalam seminar saya takut bertanya, takut mengungkapkan ide saya, takut di suruh duduk di depan.

Parodi samuel mulia

fenomena prostitusi online

 Kasus Deudeuh Alfi Sahrin (27) atau @tataa_chubby yang ditemukan tewas di kamar kosnya, Jalan Tebet Utara 1, Nomor 15 C, Tebet, Jakarta Selatan pada Sabtu 11 April malam menguak adanya bisnis prostitusi di media sosial ke ruang publik.

Di Indonesia bisnis esek-esek ini tumbuh seiring dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi. Perubahan praktek prostitusi dari konvensional menjadi online tidak terlepas dari  tuntutan) gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik.

Cara yang dilakukan untuk menggunakan jasa  seks komersial terbilang sangat mudah, cukup dengan memasukkan kata kunci tertentu di media sosial. Dalam waktu singkat, akun-akun yang menawarkan jasa PSK pun bermunculan. Di akun-akun tersebut, para penyedia jasa menampilkan informasi terkait data diri, seperti tinggi dan berat badan, tarif, alamat, dan prosedur pemesanan.

Terlepas dari berbagai fenomena prostitusi yang muncul dan berkembang dalam masyarakat, faktanya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sebagai era postmodern telah memberi andil besar dalam perubahan perilaku masyarakat di berbagai bidang kehidupan. Pergeseran pola perilaku dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi pada kenyataannya sangat berpengaruh di negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Keberadaan situs-situs penjual jasa prostitusi online harus disikapi dengan tindakan yang riil misalnya dengan melaporkan ke pihak yang berwajib atau dapat dimulai dari diri kita sendiri dengan tidak mengaksesnya.

Media sosial seperti pisau bermata dua, bisa digunakan untuk mengajak pada kebaikan tapi juga dapat dimanfaatkan kelompok teroris hingga bisnis esek-esek

menjadi bijak

Untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa dijadikan panutan. seharusnya tidak hanya mengajarkan sisi positif namun juga negatif. Karena manusia terdiri dari sisi positif dan negatif.

            lagi pula, bukankah orang yang disebut bijak  adalah yang bisa bergaul erat dengan keduanya sehingga melakoni hidup dengan tenang tanpa bercita-cita untuk menghilangkan yang negatif? Sering saya dinasihati untuk belajar dari kesalahan orang lain dan kesalahan saya sendiri. Saya juga diajari untuk merasa berbahagia kalau jatuh dalam berbagai pencobaan, katanya itu sebuah ujian iman yang nantinya akan menelurkan ketekunan dan bla-bla-bla.

            Nah, kalau begitu adanya, mengapa saya selalu memaksa agar orang selalu benar kalau sebuah kesalahan bisa menjadi sebuah pelajaran? Kalau yang negatif bisa berdampak begitu positifnya?

            Karena kebiasaan memanut satu sisi itulah, saya sering kecewa melihat orang. Apalagi kalau seseorang yang saya panuti bisa begitu negatifnya dan mengecewakan. Maka, secepat kilat mulut saya bernyanyi tanpa diminta. “Kamu tidak bermoral. Dasar tak bisa dipercaya.” Gobloknya saya, sering lupa kalau manusia adalah makhluk yang paling susah dipercaya. Itu mengapa sejak kecil, saya diajarkan hanya untuk memercayai yang Maha Pencipta itu.
8
            Saya bukan deodoran yang bisa setia di setiap saat. Saya tak bisa diharapkan untuk menghilangkan kenegatifan. Kalau saya berteriak karena kesal, kalau saya merasa terancam ada manusia baru di kantor, kalau saya takut, sok suci, sok tahu, mudah melihat borok orang dan susah melihat borok sendiri, tidak percaya diri, tidak menjadi pendengar yang baik dan hanya mau didengarkan saja, kalau saya flirting dan kalau saya merasa hidup itu tak adil  itu adalah sisi minus saya.

            Seorang teman pernah berkomentar. “Gak pa-pa-lah itu wajar kok punya sisi minus. Namanya juga manusia.” Benarkah demikian? Kalau seandainya itu wajar, mengapa saya selalu menghakimi dan menganggap tidak benar yang katanya wajar itu? Jadi, manakah yang wajar? Selalu benar, selalu salah, atau kadang benar kadang salah?

            Kalau Sang Khalik saja disebut Maha Pengampun saya mengartikannya karena Ia mengerti ciptaaannya yang sempurna itu. Mengapa Saya sebagai ciptaannya malah berniat untuk menjadikannya tidak sempurna.

Parodi samuel mulia

sejarah KAA

Negara Republik Indonesia pernah dijuluki sebagai ’Macan Asia’ saat dipimpin oleh Presiden Soekarno. Saat itu soekarno mencetuskan ide untuk menghapuskan penjajahan di kawasan asia afrika dan melawan kolonialisme serta neokolonialisme dari blok barat dan blok timur. Cita cita ini lalu dituangkan dalam konfrensi asia afrika.

Dalam pembukaan KAA di bandung tahun 1955  Presiden Sukarno dengan penuh semangat mengajak asia dan afrjka untuk bangkit dan melepaskan diri dari kekuatan kolonialisme
 Konferensi ini sontak mengubah pandangan dunia, bahwa di dunia ini selain ada kubu Amerika Serikat dan kubu Uni Soviet masih ada kelompok dunia ketiga yaitu non blok

Konferensi Asia Afrika di Bandung berhasil meraih kesuksesan baik dalam merumuskan masalah umum, menyiapkan pedoman operasional kerjasama antarnegara Asia-Afrika, serta menciptakan ketertiban dan perdamaian dunia. Hasil dari pertemuan tersebut kemudian dikenal sebagai “10 Dasasila Bandung” dimana di dalamnya memuat cerminan  penghargaan terhadap hak asasi manusia, kedaulatan semua bangsa, dan perdamaian dunia.

Peringatan 60 tahun konfrensi asia afrika diharapkan tidak hanya dijadikan romantisme masa lalu. Yang hanya sekedar pesta pora. Namun, harus memberikan kemajuan yang kongkrit bagi negara peserta.

Jika 60 tahun yang lalu isu KAA memperjuangkan kemerdekaan negara dari kolonialisme Barat dan Timur, kini KAA  harus lebih fokus membahas peningkatan kesejahteraan ekonomi,  kerja sama militer,  Sosial dan Budaya, serta menghormati Hukum dan kewajiban-kewajiban Internasional.

Peringatan kaa bisa dijadikan momentum yang tepat untuk menyerukan solidaritas internasional dan persatuan rakyat, menuju gerak4an pembebasan nasional melawan dominasi kapitalisme monopoli

ironi nenek asyani


Drama kasus nenek asyani yang mengharu biru, memasuki episode baru. Tepatnya pada hari kamis 23 april 2015 majelis hakim memvonis nenek asyani terbukti bersalah mencuri 7 batang kayu milik perhutani. Hal ini sangat kontras dengan akal sehat, bagaiman mungkin seorang nenek berusia 70 tahun bisa mencuri dan mebawa 7 batang kayu yang di jaga ketat oleh polisi hutan.

Yang lebih ironis lagi nenek dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan denda 500 juta rupiah. Vonis ini sontak membuat nenek asyani histeris. Ia bingung bagaimana bisa mendapatkan 500 juta mengingat profesinya yang hanya tukang pijit. Tubuh nenek yg mulai sakit sakitan sehingga tidak memungkinkan menjalani hukuman penjara selama 1 tahun.

Kasus  “Nenek Asyani” hanyalah butir kecil di pucuk “gunung es” sengketa agraria di Indonesia.  Berdasarkan Data perhutani 1 juta hektar hutan di jambi habis dijarah. Bahkan akibat ulah para oknum ini, penduduk asli jambi (orang rimba) kelaparan hingga harus mengemis di kota. Namun sayangnya kasus besar yg berdampak signifikan pada banyak orang ini justru tidak ditindak tegas

 Potret penegakkan hukum di Indonesia sungguh memprihatinkan. Padahal uud 45 menegaskan setiap orang berkedudukan sama dimata hukum. Namun, penegakan hukum yang ada baru sebatas seolah-olah. Maksudnya, seolah-olah ada penegakan hukum, padahal tidak. Seolah-olah ada demokrasi, padahal tidak. Seolah-olah ada keadilan sosial, padahal tidak.


Minggu, 19 April 2015

pertemanan = pernikahan


            Setelah mengobrol nyaris dua jam lamanya, dan setelah menghadiri acara pembukaan sebuah rumah makan yang dihadiri setelah acara reuni itu, saya pulang ke rumah dengan hati yang bergembira. Saya merasa terhibur. Maka, di saat itulah saya mengerti arti dari sebuah pertemanan.

            Bukan hanya karena saya merasa terhibur karena saya tak sendiri, tapi belajar untuk menerima setiap orang dengan apa adanya. Itu salah satu rahasia yang membuat tali pertemanan itu tak pernah luntur dan kemudian putus di tengah jalan. Kami memang tak sering bertemu, tapi malam itu kami sepakat untuk selalu hadir dan menyediakan waktu untuk bertemu satu bulan sekali.

            Mengapa pertemuan macam ini diperlukan? Bukan sekadar mau menggosip, bukan hanya ingin mencari peluang bisnis, atau hanya sekadar mau melepas rindu, tetapi belajar melatih menjadi manusia yang lebih toleran. Menyediakan waktu, misalnya. Saya sampai bertanya sudah berapa lama saya tak bisa menyediakan waktu untuk orang lain, untuk orang yang tidak memberi saya apa-apa? Karena selama ini, saya selalu menyediakan waktu bagi mereka yang bisa membuat pemasukan saya makin besar.

            Kapan terakhir saya memberi telinga yang diberikan Sang Pencipta untuk mendengar cerita riang gembira atau yang membuat dahi berkerut dan jantung berdetak kencang sehingga seseorang bisa merasa kalau perasaan hatinya bisa tersalurkan? Kapan terakhir lubang telinga saya bisa berfungsi dengan baik sehingga seseorang mampu melepaskan tekanan batinnya meski sejenak saja?

            Malam itu saya belajar, saya tak bisa menjadi begitu egoisnya untuk tidak bisa hadir atau tidak menyediakan waktu yang hanya satu bulan sekali itu. Kalau saya menjadi begitu bahagia, itu karena mereka memutuskan menyediakan waktu di tengah Jakarta yang begitu macetnya, di tengah sejuta tetek bengek yang mereka hadapi. Maka, giliran saya untuk berpikir memasukkan jadwal pertemuan bulan depan ke dalam agenda. Tak ada alasan apa pun, kecuali saya game over.

            Pertemanan itu adalah sebuah pusat pelatihan untuk mengerti sesama manusia, sebagai pusat kesabaran untuk melatih mendengar, dan pusat kebugaran jiwa karena selain bisa tertawa terbahak dengan kekasih hati, saya bisa tertawa tergelak dengan teman yang jauh lebih dahulu mengenal saya sebelum mengenal kekasih hati.

            Maka, hidup itu akan selalu menjadi begitu menyenangkan kalau saya memiliki teman, terutama teman yang seperti sebuah perjanjian pernikahan. Setia sampai mati. Bersama berduka, bersama bersuka.

Parodi kompas

menerima


bernilaikah saya?

Suatu malam setelah bekerja seharian, saya kelaparan. Hari itu mulut dan perut ingin dikenyangkan dengan makanan ala Indonesia. Maka saya memilih sebuah warung di mal. Yaah… warung sekarang bisa berdiri di mal. Makanan ndesomasuk pasar papan atas. Harganya tentu beda. Mereka menjual makanan rakyat dengan harga setinggi langit, dengan dekor dan pernik perlengkapan makanannya murah meriah. Mau dikatakan itu tidak adil... saya sendiri saja tak tahu adil itu artinya apa. Apalagi tidak adil.
Saya memilih tempat duduk di luar, bisa memerhatikan gaya orang lalu lalang berjalan, gaya mereka berdandan. Belum lagi kalau memergoki gaya beberapa pribadi kondang yang acap kali muncul di pasar rakyat papan atas itu. Biasanya, pemandangan semacam itu memancing diskusi dengan teman-teman. Maksudnya, membicarakan kekurangan orang lain.

Pertanyaan 1
Malam itu saya tak berniat melihat manusia yang bergerak karena terburu terpukau kalimat dalam poster sebuah bank yang sedang berpromosi, tepat di depan warung rakyat itu. Kalimatnya berbunyi begini, ”Apa yang membuat orang berdatangan ke cabang … (nama banknya)? Gratis bensin, voucher, koin emas”.
Waktu pertama membacanya, saya hanya berkata, oh... oke juga ya. Kemudian saya melanjutkan menikmati soto mi dan empek- empek palembang. Tetapi, setiap kali saya mau menyendokkan makanan itu ke dalam mulut, kepala saya mendongak dan sekali lagi membaca tulisan itu. Kejadian itu berlangsung sampai makanan lezat itu tuntas di piring yang jauh dari kesan piring mewah. Karena berkali-kali membaca, lama-lama timbul sebuah pertanyaan. Tidak kepada bank itu, tetapi kepada diri sendiri.
Pertanyaannya begini, apa yang membuat orang berdatangan ke tempat saya? Apa yang membuat orang mau berteman dan atau berbisnis dengan saya? Sampai di situ saya berhenti berdiskusi dengan kepala sendiri karena ada komentar-komentar yang ternyata lebih menarik soal manusia yang berseliweran keluar dari mulut teman-teman di seputar meja makan. Padahal, malam itu saya sudah tak berniat mendengar celoteh karena kelelahan. Tetapi, harus diakui, kalau lagi kelelahan, percakapan ringan- ringan kurang ajar itu sedapnya mirip dengan makanan yang saya santap.

Pertanyaan 2
Saya lalu pulang ke rumah. Pertanyaan setelah melihat poster tadi muncul kembali, padahal saya sempat melupakannya. Saya ulangi lagi pertanyaan yang sudah saya ajukan saat makan di warung ndeso dengan harga kota itu. Setelah sekian menit, saya tak mendapat jawaban, tetapi malah timbul pertanyaan baru.
Pertanyaannya begini. Kalau saya memisalkan diri sendiri adalah bank, bukankah seharusnya orang mendatangi saya karena layanannya terbukti prima, karena staf saya sangat membantu dan tak hanya mengerti produk yang dijual, tetapi juga mampu menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kemampuan finansial calon nasabah sehingga nasabah baru tak perlu khawatir menanam uang di tempat saya?
Bukankah sebagai bank saya harus mampu membuat nyaman nasabah dan calon nasabah, bukan hanya karena interior kantor yang oke, tetapi juga karena staf yang gesit, yang mengerti waktu adalah uang dan menunggu adalah neraka. Selain gesit, mereka juga memiliki keramahan yang bukan karena diberi pelatihan, tetapi keramahan dari hati.
Dan, calon nasabah datang bukan karena diiming-imingi sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan nilai dalam diri saya sebagai institusi. Bukankah seharusnya yang dijual nilai dari dalam, bukan yang sekadar di luar? Katanya yang bernilai itu yang tak lekang waktu karena akan menciptakan loyalitas dan pada akhirnya menciptakan pemasukan?
Atau, zaman sekarang menjual nilai sudah tak penting-penting amat? Apakah tak lekang waktu itu sudah terlalu kuno? Pertanyaan saya tak terjawab, malah diakhiri dengan pertanyaan baru lagi. Kalau saya tak memberi bensin gratis atau koin emas, apakah calon nasabah tertarik datang? Atau, saya saja yang memiliki cara pandang calon nasabah saya sekarang hanya senangnya diiming-iming semata tanpa perlu diedukasi dengan nilai?

Pertanyaan 3
Contoh tadi adalah saya berandai-andai menjadi bank. Bagaimana kalau saya adalah saya sendiri. Bukankah seharusnya saya didatangi orang karena mereka melihat nilai di dalam saya, bukan ”aksesori” di luar itu? Nilai itu adalah saya manusia yang bisa dipercaya; kalau orang berteman dan berbisnis, saya adalah orang yang berkomitmen dan tak menjadi pengkhianat. Bukan hanya karena saya punya koin emas seperti pamannya Donald Bebek.
Nurani saya malam itu juga tak bisa tidur. Saya pikir kalau saya kenyang, nurani ikut kenyang. Saya lupa kenyang itu urusan perut, nurani itu urusan jiwa. Maka, si jiwa itu berbisik. Mungkin karena tahu sudah pukul satu pagi, ia berbisik meski nyelekit-nya sama saja. ” Gue mau nanya. Kalau lo sendiri berteman dengan seseorang, itu karena apa?”
Hari sudah lewat tengah malam, saya mengantuk sekali. Mau pura-pura tak mendengar nurani, tidak mungkin. Mau pura-pura tak mengerti bahasa Indonesia, lebih tak mungkin lagi. Maka, saya diam saja, tetapi tak bisa tidur. 

Parodi samuel mulia 

manusia


Manusia itu cuma memiliki dua hal, kelemahan dan kekuatan. Kepandaian di satu sisi, kebodohan di sisi yang lain. Oleh karena itu, selama segala sesuatu itu dihasilkan manusia, yaa..hasilnya mengandung dua hal abadi itu yang menempel dan tak bisa dilepaskan.

Jadi, sungguh wajar kalau tak ada karya buatan manusia yang sempurna. Yang sesungguhnya lebih penting dari itu adalah melatih kemampuan menghargai keindahan karya seseorang, tidak hanya dengan kasatnya mata, tetapi juga dengan murninya hati. Sempurna itu kalau saya bisa memainkan hati, dan bukan hanya memainkan mata.

Selasa, 14 April 2015

"Tetap tenang karena cuma itu caranya kalau ingin tetap tenang, manusia adalah miniatur alam semesta. Lebih besar dari cacian dan lebih luas dari pujian"

Sepenggal kalimat ini terus mengingatkan ku untuk tetap tenang. Karena dengan tenang semua hal bisa jadi lancar. Namun menasehati hati untuk tetap stabil tak semudah membalik kan telapak tangan. Sering kali aku begitu kalut tak karuan sehingga ketenangan hingga kini masih menjadi PR besar.

Tak heran jika aku begitu salut kepada orang orang yang bisa dengan  mudah bersikap tenang meskipun di bawah tekanan. Ya mereka seakan bisa dengan mudah mengatur raut muka, gerak tubuh hingga nada suara untuk tetap stabil. Ko bisa ya?

Ya..mungkin ini masih menjadi pertanyaan yang harus ku pelajari, bagaimana bisa mengontrol perasaan, fikiran, gerak tubuh hingga tutur kata agar seimbang. Menjadi tenang adalah simbol harmoni diri, yang bisa memancarkan aura positif sehingga bisa membuat sekitar juga ikut merasakan ketenangan.







Minggu, 05 April 2015

hebat yang sesungguhnya



Apa definisi dari hebat? Adakah seseorang yang selalu unggul? Yang paling cepat? Yang paling vokal? Yang paling keras? Atau malah yang paling sabar?

Benarkah semua itu cukup mengartikan kata "hebat"? Apakah seseorang baru bisa dikatakan hebat jika sudah total mengungkapkan semua itu?

Malam ini hati dan logika berkecamuk mempertanyakan apa perlu harus selalu tampil hebat? Apa perlu selalu berlari menjaga standar idelisme yang kadang kelewat berbeda. Ataukah idealisme perlu ditawar untuk menjaga keharmonisan, mengingat bekerja juga memerlukan kerja sama.

Nyatanya belajar menekan ego untuk tampil hebat lebih sulit dari pada bersikap "sok hebat". Ataukah hebat yang sesungguhnya adalah manusia yang bisa mengontrol kapan harus tampil hebat dan kapan harus menekan nya untuk memberi kesempatan orang lain tampil hebat. Adakah hebat adalah kemampuan seseorang menciptakan harmoni. Bukankah tampil hebat bersama-sama lebih keren dibandingkan hebat yang seorang diri ?

Jumat, 03 April 2015

perubahan nyawanya jiwa muda

Aku fikir aku orang yang selalu siap akan perubahan. Tapi ternyata tidak, aku masih sering kaget saat perubahan terlalu drasitis kaki di kepala dan kepala di kaki. Apa mungkin aku kaget karena terlalu nyaman dengan keadaan sehingga tak mawas diri? . Sepetinya begitu, yang ku tau jiwaku selalu bergelora, aku selalu senang akan tantangan bahkan tantangan membuat diriku berasa lebih hidup. Namun kenpa sekarang berubah? Mengapa aku harus takut? Bukankah orang yang tidak menerima perubahan akan habis di gilas waktu?. Haiii jiwa muda, mana geloramu..tak pelu pergi terlalu jauh, hadapi benteng yang ada didepan mu

Rabu, 01 April 2015

efek negatif terlalu banyak minum



 Kita semua mengetahui bahwa mengkonsumsi banyak air bermanfaat baik untuk tubuh. Karena dengan mengkonsumsi banyak air maka racun dari tubuh akan dapat dinetralisir dan dikeluarkan lewat air seni. Namun demikian, bukan berarti kita harus mengkonsumsi air dalam jumlah yang amat banyak. Sama halnya saat kita mengkonsumsi obat, jika dikonsumsi sesuai dosis maka akan berefek menyembuhkan, sebaliknya jika dikonsumsi melebihi dosis, maka berefek negatif.

Begitupun saat mengkonsumsi air, terlalu banyak minum air justru malah akan memberikan efek tidak baik untuk tubuh seperti merusak ginjal dan bahkan dampak paling fatal seperti kematianpun bukan tidak mungkin dapat terjadi apabila kita minum terlalu banyak air pada satu waktu tertentu.

Untuk perlu menerapkan Aturan Mengkonsusmi Air Putih Yang Benar. Yakni dengan tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit mengkonsumsinya. Kita mungkin sudah tidak asing dengan anjuran mengkonsumsi air putih sebanyak 2 liter perhari, namun hal ini bukan berarti kita harus mengkonsumsinya sekaligus pada waktu yang bersamaan. Selain itu, anjuran mengkonsumsi 2 liter air perhari hanya berlaku untuk orang sehat, orang memiliki gangguan kesehatan seperti penderita ginjal tentunya harus membatasi jumlah konsumsi air putih agar tidak terlalu banyak.




nikah sirih online

Dengan jargon 'dari pada zina, lebih baik nikah', prosesi sakral pernikahan justru dijual secara online. Berbagai jasa nikah siri diiklankan secara terbuka di dunia maya. Ongkos jasa pernikahan pun bervariasi, mulai dari Rp 1,5 hingga Rp 4 juta.

Menemukan jasa pernikahan siri sangatlah mudah. Coba ketik kata kunci "jasa menikah siri" di situs-situs pencarian online. Hasilnya, banyak iklan di sejumlah situs maupun forum-forum dunia maya.

Selain online, iklan nikah sirih juga berbentuk leaflet yang ditempel di sejumlah tempat

para pengiklan jasa nikah instan itu pun terang-terangan menyebutkan bisa menyiapkan semuanya, termasuk para saksi dan wali.

 Iklan ini sontak membuat, Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin gerah. Ia secara tegas langsung melarang jasa nikah siirih online. Pasalnya kegiatan ini sama seperti meremehkan kesakralan pernikahan.

Sikap senada juga ditunjukkan oleh majelis ulama indonesia. Bahkan mui telah mengeluarkan fatwa haram untuk nikah sirih online, karena tidak sesuai dengan kaidah agama.

Pernikahan merupakan peristiwa sakral dengan suami istri memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Maka, pernikahan yang baik adalah yang resmi dicatat negara. Dengan demikian, bila terjadi apa-apa dalam peristiwa pernikahan itu, negara bisa ikut melindungi.

ironi penegakan hukum indonesia



Lucu nya negri ini. Penggiat anti korupsi yang biasanya keras terhadap praktek korupsi, justru takut menghadapi kasus hukum. Sementara nenek tua yg berusia 70 tahun justru berani menghadapi kasus hukum.

Dengan dalih di kriminalisasi, denny indrayana, aktivis anti korupsi yg juga mantan wakil menkumham justru takut untuk diperiksa atas kasus dugaan korupsi yang melibatkannya. Padahal, saat masih berkuasa di pemerintahan SBY, Denny selalu keras terhadap praktik korupsi. Tindikan ini memberikan contoh yang tidak baik dalam penghormatan terhadap hukum. Bahkan, Denny dinilai turut menghancurkan supremasi hukum.

Kasus serupa juga dilakukan oleh wakil ketua kpk non aktif bambang wijayanto, yang berkali kali mangkir dari pemeriksaan dengan dalih kasus nya di rekayasa.

Bahkan simbol pemberantasan korupsi, ketua kpk non aktif abraham samad, tidak berani menampilkan batang hidungnya didepan penyidik untuk menjelaskan kasus yg menjeratnya. Setidaknya dari 3 kali pemanggilan, abraham hanya memenuhi panggilan satu kali saja. Ironis memang, panglima penegak hukum ko malah takut hukum

Sepertinya mereka harus belajar dari nenek tua asal situbondo. Meskipun berusia 70 tahun, nenek asyani berani menghadapi kasus pencurian 7 batang kayu yang ditanam nya sendiri. Ia terus berjuang, hingga harus merasakan dinginya jeruji besi sejak desember 2014.

Setelah sekian lama menahan derita. Akhirnya Tangis nenek Asyani pecah saat menjalani sidang di Pengadilan Negeri Situbondo. Nenek Asyani bahkan bersimpuh dilantai, memohon kepada majelis untuk membebebaskan dirinya dari seluruh dakwaan.

Potret penegakkan hukum di Indonesia sungguh memprihatinkan. Padahal uud 45 menegaskan setiap orang berkedudukan sama dimata hukum. Namun, penegakan hukum yang ada baru sebatas seolah-olah. Maksudnya, seolah-olah ada penegakan hukum, padahal tidak. Seolah-olah ada demokrasi, padahal tidak. Seolah-olah ada keadilan sosial, padahal tidak.

End

Jangan mati di jakarta



  Jangan mati di jakarta sepertinya kalimat  itu seakan menggambarkan kondisi pemakaman di jakarta yang dibandrol dengan harga selangit. Biaya sewa pemakaman di Jakarta mencapai Rp 11 juta. Padahal harga resminya yang Rp 100 ribu untuk tanah makam baru dan Rp 35 ribu untuk tanah makam tumpang. Banyaknya aksi pungli yang dilakukan oleh oknum membuat gubernur dki jakarta basuki cahaya purnama untuk mengusung ide makam elektronik.

Sistem online dalam pelayanan pemakaman di Jakarta sebelumnya diujicoba pada November 2014 di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat. Dengan sistem pemakaman online, orang bisa memesan terlebih dulu lahan sehingga tidak bisa digunakan oleh orang lain.  Selain itu, jika ada orang yang baru meninggal, bisa diketahui melalui website mana yang sudah terisi dan kosong. Dengan demikian, untuk mendapatkan lahan tak bisa lagi datang langsung ke petugas.

Pemprov DKI Jakarta telah menetapkan tarif resmi sebesar RP 100 ribu  terkait retribusi sewa lahan pemakaman, yang dibagi dalam tiga kategori dengan masa waktu tiga tahun. Jika sukses diujicoba, sistem ini akan diterapkan bertahap di 78 TPU yang ada di Jakarta.




Ayam boiler lahirkan generasi banci





Mengkonsumsi ayam boiler memang nikmat, selain enak daging ayam juga memiliki lemak yang lebih rendah dibandingkan sapi dan kambing. Namun taukah anda jika mengkonsumsi ayam boiler bisa melahirkan generasi banci?

Para ilmuan di universitas indonesia mengungkapkan bahwa hormon yang disuntik kan pada ayam boiler bisa memberikan dampak negatif bagi kesehatan. Untuk laki laki di bawah 22 tahun mengkonsumsi ayam boiler dapat membuat ukurn mr p mengecil, sedangkan untuk laki laki dewasa akan merubah orientasi sexsual menjadi penyuka sesama jenis atau banci.

Semntara, mengkonsumsi ayam boiler pada wanita dapat mempercepat terjadinya menopos. Banyaknya dampak negatif yang terdapt dari terlalu sering mengkonsmsi ayam boiler dapat hilang dengab mengganti pola makan kita. Dari yang biasa mengkonsimsi ayam suntik ke ayam kampung. Harganya yang lebih mahal sepertinya sebanding dengan manfaat yang bisa kita dapatkan.