Sabtu, 31 Desember 2011

Mengenal pernikahan menurut agama ktolik



Ketentuan perkawinan dalam agama kristen dapat dijumpai dalam kitab suvi, baik dalam perjanjian lama maupun dalam perjanjian baru. Selain itu, ketentuan tentang perkawinan juga diatur dalam hukum kanonik yakni, dalam hukum kanonik 1055-1165, beserta statuta-statuta keuskupan sebagai peraturan pelaksanannya.

Dalam kitab hukum, greja katolik yang dipromulagasikan pada tahun 1983, kanon 1055, perkawinan adalah perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup antara mereka. Menurut sifat kodratinya perjanjian perkawinan itu terarah kepada kebaikan suami istri dan prokreasi serta pendidikan anak. Oleh kristus Tahun perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.

Jadi hakekat perkawinan menurut agama katolik ialah persatuan antara seorang pria dan seorang wanita yang diberkati oleh Allah sendiri, dan diberi tugas bersama oleh Allah sendiri, dan diberi tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia.

Tujuan perkawinan menurut agama Kristen
  • Kitab suci perjanjian baru dalam Matius 10:6-8, menyatakan tujuan perkawinan adalah agar suami istri dipersatukan seerat-eratnya
  • Konritus 7:5, menjelaskan tujuan perkawinan adalah sebagaii sarana memenuhi kebutuhan seks secara benar
  • Efesus Bab 5 ayat 21-33, menjelaskan bahwa tujuan perjawinan adalah agar suami istri kisten saling mengasihi seperti kristus tlah mengasihi umanyt-Nya
  • Menurut Piet Go O.Carm, tujuan perkawinan bukanlah kebahagiaan, tetapi kesatuan.
  • Tradisi gereja kaloik mengakui tujuan perkawinan dalam tiga hal penting, yakni: keturunan, persatuan erat suami istri dan pemenuhan kebutuhan seksual secara benar.

Asas-asas perkawinan
Dari kerentuan dalam kanon 1056, dapat diketahui asas pekawinan menurut agama katolik sebagai berikut:
  • Monogamy
  • Tak terceraikan

Sahnya perkawinan
Syarat materiil sahnya perkawinan adalah :
  • Calon mempelai sudah mmengerti makna penerimaan sakramen perkawinan dan akibat-akibatnya
  • Adanya kesepakatan antara calon mempelai
  • Pria berusia minimal 16 tahun dan wanita minimal berusia 14 tahun
  • Tidak tertaik dengan tali perkawinan dengan pihak lain
  • Beragama katolik
  • Tidak ada hubungan darah yang terlampau dekat
  • Tidak melanggar larangan perkawinan, seperti:
-          larangan umur
-          blm cukup matang jiwanya
-          kemampuan badan
-          Halangan impoten
-          Halangan ikatan perkawinan
-          Halangan nikah berdasarkan faktor religius
-          Halangan nikah berdasarkan faktor kejahatan
-          Halangan nikah berdasarkan faktor relasia
-          Halangan adopsi
-          Nmaun untuk semua halangan ini ada syarat dispensasinya terdapat dalam instruksi K.S Propaganda Fide, 9 Mei 1877

Akibat hukum perkawinan
  • Adanya hak dan kewajiban bagi suami dan istri
  • Adanya akibat terhadap anak-anak, seperti mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial dan kultural maupun moral dan religius.
  • Adanya akibat terhadap harta benda



Selasa, 27 Desember 2011

Proses perceraian




Prihal perceraian diatur dalam UU nomor 1/1974 dalam bab VIII, pasal 38-41, selain itu juga diatur lebih lenjut dalam PP nomor 9/ 1975 dalam bab V, pasal 14-36.

Pasal 38 dalam UU nomor 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena:
  1. kematian
      Putusnya perkawinan karena kematian adalah putusnya perkawinan karena matinya salah satu pihak ( sumai/istri ).  Sejak saat matinya salah satu pihak itulah putusnya perkawinan itu terjadi. Demi kepastian hukum, surat keterangan yang berisi tentang matinya seseorang ini agaknya sangat penting bagi seseorang yang telah kematian suami/ istri, sebagai bukti otentik.

  1. perceraian
      Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Perceraian harus dilakukan melalui proses persidangan untuk menghindarkan tindakan sewenang-wenang, terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum, maka perceraian harus melalui lembaga pengadilan.

  1. Atas putusan pengadilan
      Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan dapat terjadi karena pembatalan perkawinan/ karena peceraian. Adanya putusan pengadilan adalah sebagai penyelesaian dari gugatan perceraian yang diatur dalam Pasal 20 PP nomor 9/1975.

Lebih lanjut buku problematika hukum perceraian Kristen dan katolik menjelaskan bahwa terdapat perbedaan putusnya perkawinan antara agama islam dan Kristen.

Dalam agama islam putusnya pekawinan dapat terjadi karena : kematian, perceraian (talak) dan keputusan pengadilan. Sementara bagi agama kristen putusnya perkawinan dapat terkadi karena kematian dan karea keputusan pengadilan.

Alasan-alasan perceraian
Pasal 19 PP nomor 9/1975  menjelaskan alasan-alasan yang dapat digunakan untuk terlaksananya perceraian. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan, sebagai berikut:
  1. salah satu pihak (suami/istri) tlah melakukan zinah/ menjadi pemabuk/ pemandat.
  2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lainnya dan tanpa alasan yang sah
  3. Salah satu pihak mendapatkan penjara salama 5 tahun/ hukuman yang lebih berat setelah pernikahan berlangsung
  4. Salah satu pihak melakukan kekejaman/ penganiayaan berat
  5. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan/ penyakit yang mengakibatkan ia tidak dapat menjalankankewajibannya sebagai suami istri
  6. Antara suami dan istri terus bertengkar dan tidak akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Prosedur perceraian
Jika telah memiliki alasan yang sesuai dengan alasan-alasan perceraian, maka langkah selanjutnya adalah mengenai prosedur perceraian. Sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat 1 UU nomor 1 tahun 1974. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendapaikan kedua belah pihak.

Tata cara perceraian di muka Pengadilan diatur dalam Bab V PP nomor 9/1975 dan pasal 14-36. K Wantijik Salah menyimpulkan perceraian tersebut menjadi dua macam, yaitu cerai talak dan cerai gugat.
a.      cerai talak
Cerai talak  ini hanya khusus bagi yang beragama islam, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 14 PP nomor 9 tahun 1975.
1.      Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama islam, boleh menceraikan istrinya dengan mengajukan surat kepada pengadilan agama ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan secara tertulis kepada pengadilan ditempat tinggalnya yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceriakan istrinya disertai dengan alasan-alasan serta meminta pengadilan agar disidangkan.
2.      Setelah surat pengajuan diserahkan kepada pengadilan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah penerimaan surat itu, pengadilan akan memanggil suami dan istri yang akan bercerai untuk meminta penjelasan.
3.      Setelah pengadilan mendapatken penjelasakan, jika memang ada alasan-alasan perceraian dan tidak memungkinkan untuk didamaikan maka pengadilan akan mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian.
4.      Sesaat setelah menyaksikan perceraian  ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
5.      Surat keterangan tersebut dikirim kepada pegawai pencatatan ditempat  itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
6.      Perceraian terhitung pada saat perceraian dinyatakan di depan sidang.

Lebih lanjut Putusan Mahkamah agung mengatur mengenai talak bagi agma islam
1.      Talak hanya sah, billa diikrarkan dalam sidang pengadilan agama
2.      Pengadilan agama akan membuka sidang ikrar talak, jika suami istri tidak mungkin didamaikan
3.      untuk memeriksa perkara talak harus didengar saksi saki korban dan orang orang yang dekat dengan kedua belah pihak
4.      Bilamana ternyata penyebab talak tersbeut karena kesalahan pemohon, maka pemohon dapat dihukum untuk membayar uang mut’ah yang bersarnya menurut pertimbangan majelis hakim, disamping itu juga harus membayar biaya keperluan hidup selama iddah.
5.      ikrar baru diucapkan stlah sidang dibuka berdasarkan ketetapan pengadilan agama
6.      baik suami dan istri masing-masing mempunyai hak banding ataupun kasasi atas penetapan izin ikrar talak

b.      cerai gugat
      Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan dengan suatu putusan pengadilan. PP nomor 9/1975 dalam pasal 20 menjelaskan bahwa, gugatan perceraian dapat dilakukan oleh seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut islam dan kepercayaan lainnya. Tata cara gugatan perceraian secara rinci diatur dalam pasal 10 – 36 PP nomor 9/1975, dapat diuraikan sebagai berikut:
1.      pengajuan gugatan, pengaujan dilakukan berdasarkan alasan-alasan perecaraian yang termuat dalam UU nomor 1/1975 dan pasal 19 PP nomor 9/1975.
      Gugatan dapat dilakukan suami/istri kepada pengadilan setempat. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman pengugat.

2.      Pemanggilan.
      Pemanggilan terhadap para pihak/ kuasanya dilakukan setiap kali akan diadakan persidangan melalui juru sita untuk hadir pada sidang yang tlah ditentukan. Selambat- lambatnya tiga puluh hari setelah pengadilan menerima berkas perkara dengan memperhatikan tanggal waktu panggilan, maka pengadilan harus sudah mulai memeriksa permohonan perceraian tersebut, sedangkan untuk tergugat yang berada diluar negeri batas waktunya mencapai 6 bulan.
      Pemanggilan harus disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.

       Apabila tidak dapat dijumpai, pemanggilan disampaikan melalui surat atau dipersamakan dengannya. Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, pemanggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di pengadilan dan mengumumkan di beberapa surat kabat yang ditetapkan oleh pengadilan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman yang pertama dan kedua.

3.      Persidangan
      Persidangan dilakukan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh pengadilan selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di kepanitraan.

      Pasal 30 PP nomor 9/1975 menjelaskan lebih lanjut bahwa suami dan istri dapat datang sendiri/ diwakili oleh kuasanya. Surat-surat yang diperlukan harus dilengkapi dan dibawa, misalnya surat kawin, surat jawaban gugatan dan surat-surat lain yang penting berkenaan dengan perkara yang akan dilakukan secara tertutup.

4.      Perdamaian
      Ketika memeriksa gugatan, hakim berkewajiban untuk mendamaikan pihak suami istri sebelum melanjutkan perisdangan. Jika tidak dapat didamaikan, maka proses peridangan dilanjutkan hingga menunggu  putusan pengadilan

5. Putusan
      Putusan ini dilakukan dalam sidang tertutup. Satu putusan memungkinkan untuk tidak dihadiri oleh pihak yang bersangkutan.

      Selama proses pemeriksaan masih berjalan istri dapat meminta kepada pengadilan berupa beberapa penetapan, seperti:
a.      menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami
b.      menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
c.       menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin barang-barang yang menjadi hak istri

Akibat perceraian
UU nomor 1/1974 menjelaskan mengenai kaibat-akibat putusnya perkawinan karena perceraian, hal ini diatur dlam pasal 41.
1.      Akibat terhadap suami istri
Setelah perceraian terjadi, maka ikatan perkawinanan antara suami istri menjadi putus. Dan kedudukan mereka terpisah secara sendiri-diri. Dengan demikian mereka dilarang untuk mengadakan hubungan seksual sebagaimana hubungan suami istri. Sedangkan kewaiban mmeberikan nafkah kepada mantan istri bersifat fakultatip artinya boleh atau dapat.

2.      Akibat terhadap anak-anak
      Meskipun tlah bercerai anak tetap akan menjadi tanggungan mereka berua (suami dan istri). Pasal 41 yat 1 dan 2 UU nomor 1/1974 menjelaskan lebih lanjut mengenai tanggung jawab ini.
a.      baik ibu dan ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendiidk anak-anaknya
b.      bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan.

3.      Akibat terhadap harta benda
Harta benda yang harus diperhitungkan akibat adanya perceraian adalah harta bersama. J Satrio menjelaskan apa saja yang masuk dalam harta bersama sebagai berikut:
a.      hasil dan pendapatan suami
b.      hasil dan pendapatan istri
c.       hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri asal  kesemuanya diperoleh    sepanjang perkawinan.

Terhadap harta bersama tersebut suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak dan harta bawaan masing-masing suami istri menjadi hak mereka masing-masing.

Senin, 26 Desember 2011

mengenal pernikahan berdasarkan UU part I


Pernihakan adalah ikatan lahir bantin antara seorang pria dan wanita sebagai sebagai suami dan istri dengan tujuan memberntuk keluarga yang bahagia dan kekal berasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU nomor 1/1974).

Dengan demikian, perkawinan itu tidak cukup hanya dengan ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi antara kedua-duanya harus bersatu, sebab apabila perkawinan itu hanya merupakan ikatan lahir maka perkawinan hanya akan mengungkapkan suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut hanya merupakan hubungan yang bersifat formal saja.

Oleh karena itu, dengan adanya perpaduan antara  ikatan lahir dan ikatan batin maka  fondasi untuk  membentuk keluarga  tidak mudah putus begitu saja.  

Perkawinan merupakan sesuatu yang suci, yang dianggap luhur untuk dilakukan, sehingga apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja tidaklah diperkenankan.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal dengan kriteria sebagai berikut:
  1. Suami istri saling bantu membantu serta saling melengkapi
  2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
  3. Menciptakan keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material

Agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai, maka kita harus memperhatikan syarat-syarat pernihakan. UU nomor 1 tahun 1974 menjelaskan syarat-syaratnya:
  1. mendapatkan persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat1)
  2. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan wanita 16 tahun
  3. Tida terikat tali perkawinan dengan pihak lain (pasal 9), kecuali diijinkan oleh pasal 2 ayat 1 dan pasal 4
  4. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, berlaku masa idah (pasal 11 ayat 1) dan waktunya ditentukan dalam pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975
  5. Tidak melanggar larangan kawin (perkawinanan sedarah) seperti yang tertera dalam pasal 8, 9 dan 10 UU nomor 1 tahun 1974.
  6. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan suami istri yang akan dikawini pasal 10.
  7. Ijin kedua orang tua mereka

Setelah memperhatikan syarat-syarat perkawinan mari kita mengkaji lebih lanjut mengenai sah tidanya suatu perkawinan. UU nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan agama/ kepercayaan dari mempelai itu sendiri.  Selama tidak ada yang bertentangan maka, pernikahan tersebut tlah sesuai dimata hukum.

Ketika pria dan wanita tlah dinyatakan sah menjadi pasangan suami dan istri, maka keduanya memiliki akibat hukum dari pernikahan itu.
  1. terhadap hak dan kewajiban suami istri UU nomor 1 tahun 1974 mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri  dalam pasal 30  sampai 34.  Antara suami istri diberikan kedudukan yang  seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun hidup bersama dalam       masyrakat (pasal 31).
  1. Selain memliki kewajiban sendiri-sendiri. Suami istri juga memiliki kewajiban bersama, yakni :
1.      sumai istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1 dan 2)
2.      Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu sama lain (pasal 33)
3.      memperhatikan anak-anak mereka (pasal 42)

Resensi - Buku rahasia sukses pengusaha Jepang

Seindah bunga sakura yang bermekaran, Negara jepang memang memiliki sejuta keindahaan yang membuat banyak Negara lain  mengaguminya. Salah satu hal
menarik yang dapat kita telisik soal jepang adalah mengenai industrinya. Kemajuan industrialisasi di Jepang dapat terwujud berkat kehebatan dari para
pengusahanya.

Buku rahasia sukses pengusaha Jepang, secara jelas membuka keefektifan dasar-dasar dan konsep Jepang tradisional dalam berbisnis dengan menejemen yang
luar biasa, diantaranya keamanan kerja, menciptakan hubungan kerja yang selaras, cara melepaskan diri dari persaingan, bagaimana membangun kerja sama hingga menciptakan rasa tanggung jawab pada tiap individu/ karyawan.

Kesemuanya itu terangkum dalam 8 bab buku ini. Liem Tanuwidijaya (sang penulis) mengambarkan seberapa
penting kepribadian yang dipegang teguh oleh orang Jepang dalam membangun kecermelangan bisnis
mereka.

Buku ini juga memberikan gambaran mengenai perbandingan cara kerja pengusaha Jepang dan
Pengusaha barat. Dari perbandingan ini, kita seakan diperlihatkan mengenai sisi baik sekaligus sisi buruk dari
keduanya. Dengan ini, penulis seolah mengajak kita  agar  lebih bijak dalam mengambil sisi baik dari cara kerja kedua pengusaha tersebut.



Sabtu, 26 November 2011

Langkah Hukum Jika Mantan Suami Menolak Menafkahi Mantan Istri

Pertanyaan :
Bagaimana kalau pasangan yang sudah menikah terus bercerai, dan mantan suami diputuskan untuk membayar tunjangan rutin kepada mantan istri dan anak, tetapi ternyata tidak mau membayar. Apakah sang suami dapat dipidana, atau hanya sekedar urusan perdata? Terima kasih. Pita.
Jawaban :
Mengenai tunjangan istri dan anak dari mantan suami, dapat dilihat dasar hukumnya sebagai berikut.


Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil (PNS) pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.

Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 tentang Akibat Perceraian, menyebutkan:

(b) Anak yang sudah mumayyiz (cukup umur, Red.) berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah (pengasuhan, Red.) dari ayah atau ibunya.

(d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut  dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).


B
erdasarkan Pasal 8 PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, maka suami (mantan suami) wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk menghidupi bekas istri dan anak-anaknya. Besarnya gaji yang diberikan adalah 1/3 untuk PNS pria yang bersangkutan, 1/3 untuk bekas istrinya, 1/3 untuk anak-anaknya. Apabila melanggar ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 16 PP No. 10 Tahun 1983, akan dikenakan sanksi disiplin berat.

Dalam kasus Saudari, hakim sudah memutuskan bahwa mantan suami diwajibkan untuk membayarkan tunjangan kepada istri dan anaknya. Jika mantan suami adalah anggota PNS, maka Saudari dapat memberikan putusan pengadilan tersebut kepada atasan mantan suami, disertai dengan permohonan agar gaji dari mantan suami dapat langsung dipotong dari kantor dan diberikan kepada istri dan anak-anak.

Apabila mantan suami bukanlah PNS/Anggota TNI/Polri, berdasarkan Penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 jo. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Saudari bisa mengajukan gugatan atas tidak dipenuhinya tunjangan anak ke Pengadilan Agama di mana Saudari bertempat tinggal.





Dikutip dari hukumonlie.com 


Hukum Perceraian untuk Nikah Beda Agama

Pertanyaan :
A adalah seorang laki-laki muslim, menikah dengan B wanita beragama Katolik. Mereka menikah secara siri di hadapan seorang pemuka agama Islam, beberapa saat kemudian mereka dinikahkan lagi tetapi di Gereja. Bukti pernikahan mereka adalah Kutipan Akta perkawinan Catatan Sipil dan Surat Perkawinan Gereja. Dalam perjalanannya masing-masing tetap mempertahankan keyakinannya. Kemudian karena terjadi ketidakcocokan, maka si A (suami) berencana menceraikan istrinya. Pertanyaan saya adalah: Bagaimanakah prosedur untuk perceraian dalam kasus tersebut? Apakah artinya kata-kata "diberi kebebasan atas halangan beda agama no. 2088/D 0870/2001" dalam surat perkawinan gereja? Terima kasih atas bantuan dan jawabannya. Deny.

Jawaban :
I.     Pada prinsipnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing. Lebih jauh, simak Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia.

Berdasarkan yang Anda ceritakan bahwa A dan B menikah secara siri di hadapan seorang pemuka agama Islam dan kemudian secara Katolik di Gereja. Sekarang kita bahas dulu tentang status perkawinan siri pasangan tersebut. Secara umum perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum/syariat Islam, tapi tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah. Karena itu, perkawinan siri sah secara agama, akan tetapi secara hukum negara belum sah karena belum memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana kami sebutkan di atas (lihat Pasal 2 UUP).

Dengan tidak dilakukannya pencatatan atas perkawinan tersebut, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (lihat Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam atau KHI). Hal ini tentunya membawa akibat hukum yaitu tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut, termasuk terhadap hak-hak istri dan anak-anak hasil dari perkawinan siri. Begitu juga untuk melakukan gugatan cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan pada hak-hak anak dan istri. Lebih jauh, simak artikelPerceraian Kawin Siri. Sehingga, memang terhadap perkawinan siri tersebut tidak ada mekanisme perceraiannya.

Sekarang kita bahas mengenai status perkawinan kedua pasangan tersebut yang dilakukan secara Katolik dan telah dicatatkan di catatan sipil. Karena perkawinan ini telah dilakukan sesuai agama (Katolik) dan dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah sesuai UU, maka perkawinan inilah yang sah secara hukum.

Dalam hal kemudian pasangan tersebut ingin bercerai, pada dasarnya agama Katolik menentang adanya perceraian. Namun, secara hukum negara, di Indonesia diatur bahwa:
1.    Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.    Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(lihat Pasal 39 ayat [1] dan ayat [2] jo Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Mengenai alasan-alasan perceraian ini dapat Anda lihat dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan). Lebih jauh, simak artikelPerceraian Agama Katolik (2).

Meskipun dalam perjalanan perkawinan tersebut masing-masing kemudian masih mempertahankan keyakinannya (agamanya) masing-masing, untuk memutuskan perkawinan yang dilakukan secara Katolik maka perceraian juga harus dilakukan secara Katolik. Selain itu, perceraian juga harus dilakukan secara perdata melalui pengadilan negeri untuk memutuskan perkawinan secara hukum negara.

Dalam praktiknya, permohonan cerai secara Katolik jarang sekali dikabulkan. Tapi, pasangan tersebut tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. 

Walaupun Hukum Katolik menentang adanya perceraian, namun dalam Katolik dikenal adanya prosedur pembatalan perkawinan (anulasi). Akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut hukum gereja adalah kedua pihak yang telah dibatalkan perkawinannya dapat menikah lagi. Lebih jauh mengenai perceraian Katolik silahkan simak artikel Perceraian Agama Katolik.

Untuk proses perceraian secara perdata, istri/suami harus mengajukan gugatan cerai ke pengadilan negeri. Lebih lanjut mengenai proses perceraian dan hak asuh anak, simak Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat? dan Anak & Perceraian.

II.   Mengenai kalimat yang tertulis dalam surat perkawinan Gereja seperti yang Anda tanyakan, kami meminta pendapat dari Pastur di Paroki Salib Suci, Pastur Bani Suatmadji, CM. Menurut Bani dalam agama Katolik perkawinan campur (beda agama) dibagi menjadi dua yaitu:
        a. Beda agama dan beda gereja (misal: dengan Kristen);
        b. Beda agama (dengan agama lain).

Dalam hal laki-laki dan perempuan yang berbeda agama kemudian ingin melaksanakanperkawinan, dapat mengajukan dispensasi ke keuskupan di mana pasangan tersebut berada, minimal 3 (tiga) bulan sebelum melangsungkan perkawinan.

Dispensasi ini dimaksudkan untuk membebaskan pasangan tersebut dari larangan atau halangan untuk menikah. Larangan adalah apabila laki-laki dan perempuan yang ingin menikah itu berbeda agama dan berbeda gereja (poin a), sedangkan halangan adalah apabila salah satu dari pasangan beragama Katolik dan pasangannya beragama lain (tidak bergereja, misal: Hindu, Budha, Islam) (poin b). Dengan adanya dispensasi ini, meskipun ada larangan atau halangan untuk menikah, perkawinan dapat diperbolehkan untuk dilangsungkan. Sehingga, maksud dari kalimat “diberi kebebasan atas halangan beda agama no. 2088/D 0870/2001", pasangan tersebut diberi dispensasi untuk tetap dapat menikah meskipun berbeda agama. Dari sisi hukum, pernyataan ini merupakan bukti bahwa perkawinan pasangan tersebut telah sesuai dengan agama (Katolik).



Dikutip dari hukumonlie.com