Selasa, 28 April 2015

menjadi bijak

Untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa dijadikan panutan. seharusnya tidak hanya mengajarkan sisi positif namun juga negatif. Karena manusia terdiri dari sisi positif dan negatif.

            lagi pula, bukankah orang yang disebut bijak  adalah yang bisa bergaul erat dengan keduanya sehingga melakoni hidup dengan tenang tanpa bercita-cita untuk menghilangkan yang negatif? Sering saya dinasihati untuk belajar dari kesalahan orang lain dan kesalahan saya sendiri. Saya juga diajari untuk merasa berbahagia kalau jatuh dalam berbagai pencobaan, katanya itu sebuah ujian iman yang nantinya akan menelurkan ketekunan dan bla-bla-bla.

            Nah, kalau begitu adanya, mengapa saya selalu memaksa agar orang selalu benar kalau sebuah kesalahan bisa menjadi sebuah pelajaran? Kalau yang negatif bisa berdampak begitu positifnya?

            Karena kebiasaan memanut satu sisi itulah, saya sering kecewa melihat orang. Apalagi kalau seseorang yang saya panuti bisa begitu negatifnya dan mengecewakan. Maka, secepat kilat mulut saya bernyanyi tanpa diminta. “Kamu tidak bermoral. Dasar tak bisa dipercaya.” Gobloknya saya, sering lupa kalau manusia adalah makhluk yang paling susah dipercaya. Itu mengapa sejak kecil, saya diajarkan hanya untuk memercayai yang Maha Pencipta itu.
8
            Saya bukan deodoran yang bisa setia di setiap saat. Saya tak bisa diharapkan untuk menghilangkan kenegatifan. Kalau saya berteriak karena kesal, kalau saya merasa terancam ada manusia baru di kantor, kalau saya takut, sok suci, sok tahu, mudah melihat borok orang dan susah melihat borok sendiri, tidak percaya diri, tidak menjadi pendengar yang baik dan hanya mau didengarkan saja, kalau saya flirting dan kalau saya merasa hidup itu tak adil  itu adalah sisi minus saya.

            Seorang teman pernah berkomentar. “Gak pa-pa-lah itu wajar kok punya sisi minus. Namanya juga manusia.” Benarkah demikian? Kalau seandainya itu wajar, mengapa saya selalu menghakimi dan menganggap tidak benar yang katanya wajar itu? Jadi, manakah yang wajar? Selalu benar, selalu salah, atau kadang benar kadang salah?

            Kalau Sang Khalik saja disebut Maha Pengampun saya mengartikannya karena Ia mengerti ciptaaannya yang sempurna itu. Mengapa Saya sebagai ciptaannya malah berniat untuk menjadikannya tidak sempurna.

Parodi samuel mulia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar