Jumat, 22 November 2013

Nilai sebuah gelar ( Banyak peneliti yang kurang di hargai pemerintah dan memilih berkarya di luar negeri )




Pemberitaan gencar mengenai ulah politisi dan birokrat yang mencuri uang rakyat sering membuat publik menjadi skeptis. Bahkan tidak sedikit yang merasa apatis dengan kondisi Indonesia di masa depan. Tak heran bila angka golput atau masyarakat yang menolak menggunakan hak politiknya dalam pemilu maupun pemilukada terus bertambah. Tetapi, betulkah sedemikian parahnya kondisi Indonesia sehingga tak ada lagi yang bisa dibanggakan?


Tentu saja tidak. Masih banyak sumber daya manusia Indonesia yang prestasinya tidak hanya melakukan korupsi. Mereka adalah para ilmuwan dan peneliti yang hasil penelitiannya diakui dunia. Salah satu contohnya adalah Dr Johny Setiawan. Pria muda berusia 36 tahun ini diakui sebagai pakar Astrofisika di Jerman. Pengakuan itu tidak datang tiba-tiba. Johny Setiawan merupakan penemu planet baru di tata surya. Tidak hanya satu, tetapi 10 planet baru. Bukan hanya itu, lulusan doktor termuda di Albert-Ludwigs Universitas, Greiburg, Jerman tersebut merupakan satu-satunya ilmuwan non Jerman yang menjadi Ketua Tim Proyek Max Planck Institute for Astronmy, Jerman.

Contoh lain yang menunjukkan prestasi anak bangsa Indonesia lainnya adalah Dr Mulyoto Pangestu. Tenaga pengajar di Monash University, Australia ini adalah penemu sistem pengawet sperma binatang. Dengan penemuan tersebut, sistem penyimpanan sperma menjadi jauh lebih efisien.


Yang lainnya adalah Prof Dr Ir Irwandi Jaswir M.Sc, yang baru-baru ini mendapat medali emas pada ajang lomba RekaCipta dan Inovasi digelar di Genewa, Swiss. Sebuah ajang kompetisi yang sangat bergengsi di dunia keilmuan internasional. Dan banyak lagi para peneliti dan ilmuwan lainnya yang memilih berprestasi dan mendapat pengakuan internasional melalui penelitan yang mereka lakukan di luar negeri.


Banyaknya sumber daya manusia yang memilih berprestasi di luar negeri melalui penelitian mencerminkan lemahnya perhatian pemerintah dalam membina para ilmuwan. Kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian juga disinyalir menjadi penyebab utama perginya para peneliti Indonesia ke luar negeri. Penghargaan terhadap ilmuwan di dalam negeri juga jauh lebih kecil ketimbang di luar negeri. Di dalam negeri, pernah muncul keprihatinan tentang nasib peneliti lembaga pengetahuan negeri tetapi tunjangan atau gajinya sangat kecil meskipun bergelar profesor.


Hal tersebut juga dibenarkan oleh pakar astrofisika Johny Setiawan. Minimnya penyediaan sarana dan prasarana penelitian akan membuat seorang peneliti mati langkah. Dan ketika hal itu tidak didapatkan di negeri sendiri, maka para peneliti akan memilih pindah ke negara lain yang dianggap lebih baik dalam memberikan apresiasi.

Salah satu negara yang menjadi tujuan ilmuwan Indonesia adalah Hamburg, Jerman. Ada 100-an ilmuwan Indonesia yang bekerja di sebuah pabrik pesawat. Jika sistem pengembangaan sains dan teknologi, misalnya industri pesawat terbang di Indonesia membaik, maka para ilmuwan yang kerja di luar negeri itu akan kembali. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi transfer ilmu yang selama ini didapat dan dipraktikkan di luar negeri untuk industri di dalam negeri.


Kini, sudah saatnya pemerintah memperhatikan para diaspora. Terutama mereka yang sudah terbukti dan diakui dapat didayagunakan pmemikirannya untuk Indonesia. Tentu saja dengan satu catatan: dana untuk penelitian diperbesar dan tidak dikorupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar