Jumat, 22 November 2013

Hukum di Indonesia dalam memberikan Efek Jera koruptor

Kekayaan alam yang luar biasa ternyata belum menjamin rakyat Indonesia menikmati kesejahteraan hidup. Harta warisan yang melimpah justru menjadi objek jarahan segelintir orang demi kekayaan pribadi. Seperti elit politik, pengusaha, legislatif dan penegak hokum yang seharusnya menjadi penegak konstitusi hukum tertinggi di sebuah negeri

Lantas, apa yang menyebabkan korupsi bergitu masif? Apakah hukuman yang selama ini diberikan kepada koruptor tidak cukup memberikan efek jera? Pahadal, Korupsi merupakan kejahatan luar biasa karena melanggar hak ekonomi dan hak sosial masyarakat....

Korupsi adalah ”benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Mengapa para koruptor sepertinya tidak jera melakukan korupsi? Ini tentu karena ringannya sanksi yang dimuat didalam Undang-Undang Tipikor   di mana paling tinggi denda maksimal hanya Rp1 miliar.

Padahal dana yang dicuri para koruptor lebih besar dari itu. Nilai denda yang begitu kecil tidak membuat jera atau takut para koruptor. Sebagai akibatnya, koruptor dengan dana yang diperolehnya berani menyogok hakim untuk memuluskan langkahnya menjadi kaya raya. Politisi korup yang berkelebihan uang juga dengan mudah masuk ke dalam golongan elite sehingga mereka leluasa melakukan langkah lobi dan memengaruhi pengambil kebijakan untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut.

Karena itu, tidak heran jika KPK  melansir kerugian negara karena korupsi sejak 2004 sampai 2011 mencapai Rp39,3 triliun. Padahal, Indonesia dapat membangun berbagai infrastruktur dan memperbaiki kualitas hidup orang Indonesia jika korupsi dapat ditekan.Kerugian negara jauh lebih besar jika dimasukkan pula biaya efek beban finansial negara akibat korupsi.

Realita menunjukkan bahwa reformasi hukum tentang sanksi yang berat bagi pelaku tindak pidana korupsi harus diupayakan agar MENIMbulkan efek jera kepada koruptor. Selain hukuman yang diperberat, perlu ada pembinaan sistem antikorupsi dan  transparansi APBN. kita perlu dipublikasikan  jumlah APBN, alokasi penganggarannya, sampai penggunaan anggaran tersebut.

Dengan demikian, penyalahgunaan anggaran dapat ditekan karena masyarakat dapat mengontrol penggunaan anggaran tersebut. Mengenai sanksi terhadap para koruptor, mungkin kita perlu mencontoh China yang sangat keras dalam menerapkan sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi. Hukuman mati diterapkan kepada pelaku korupsi.

Kasus terakhir di Pengadilan China misalnya, Senin 8 juli, pemerintah menerapkan hukuman mati kepada mantan Menteri Perkeretaapian China Liu Zhijun karena terbukti melakukan korupsi. Kantor berita China, Xinhua, mengabarkan, Liu Zhijun mendapatkan ”hukuman mati dengan penangguhan selama dua tahun” karena terlibat suap dan penyalahgunaan wewenang.

Sejalan dengan pembinaan sistem antikorupsi, Pemerintah China dalam sepuluh tahun terakhir ini telah mengeksekusi mati sejumlah pejabat setingkat menteri atau pejabat lebih tinggi lagi yang dinilai sudah keterlaluan dalam melakukan korupsi. Selain Liu Zhijun, sejumlah pejabat juga terlebih dahulu dihukum mulai dari pencopotan jabatan. jika China berani menerapkan hukuman mati pada koruptor, kenapa indoensia tidak berani menerapkannya? Tentunya para pemimpin pada masa yang akan datang harus memikirkan strategi hukuman yang berat dan dapat memberikan efek jera kepada para koruptor

Di Indonesia nilai kejujuran memang masih sangat mahal, bahkan antara perbuatan dan ucapan seringkali tidak sesuai. Dalam kasus Akil Muchtar misalnya, pada Maret 2012 beliau pernah menyatakan wacana memperberat hukuman koruptor dengan memiskinkan dan memotong jari tangan, namun pada kenyataannya yang bersangkutan menjilat ludah sendiri dengan melakukan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan budaya malu seperti di Jepang.

Dalam kasus korupsi di mana Kejaksaan Metropolitan Tokyo menahan Gubernur Tokushima yang didakwa mendapat suap dari seorang konglomerat Jepang dan dalam kasus lain juga menahan Wali Kota Shimo zuma Ibaraki. Dua pejabat itu secara sukarela langsung mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur dan wali kota. Tampaknya nilai kejujuran dan budaya malu masih sangat kuat melekat dalam kesadaran orang Jepang, termasuk kejujuran untuk mengakui kejahatannya sendiri.

Menilik dari komparasi penerapan hukum baik di China dan di Jepang, kita sepertinya perlu melakukan reformasi hukum secara total dengan cara  menumbuhkan budaya malu dan mengedepankan nilai kejujuran di kalangan penyelenggara negara. Hukuman mati dan atau hukuman gantung bagi yang terbukti bersalah melakukan tindakan korupsi perlu diterapkan untuk menimbulkan efek jera para penyelenggara yang mencoba untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar