Sabtu, 26 November 2011

Hukum Perceraian untuk Nikah Beda Agama

Pertanyaan :
A adalah seorang laki-laki muslim, menikah dengan B wanita beragama Katolik. Mereka menikah secara siri di hadapan seorang pemuka agama Islam, beberapa saat kemudian mereka dinikahkan lagi tetapi di Gereja. Bukti pernikahan mereka adalah Kutipan Akta perkawinan Catatan Sipil dan Surat Perkawinan Gereja. Dalam perjalanannya masing-masing tetap mempertahankan keyakinannya. Kemudian karena terjadi ketidakcocokan, maka si A (suami) berencana menceraikan istrinya. Pertanyaan saya adalah: Bagaimanakah prosedur untuk perceraian dalam kasus tersebut? Apakah artinya kata-kata "diberi kebebasan atas halangan beda agama no. 2088/D 0870/2001" dalam surat perkawinan gereja? Terima kasih atas bantuan dan jawabannya. Deny.

Jawaban :
I.     Pada prinsipnya hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing. Lebih jauh, simak Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia.

Berdasarkan yang Anda ceritakan bahwa A dan B menikah secara siri di hadapan seorang pemuka agama Islam dan kemudian secara Katolik di Gereja. Sekarang kita bahas dulu tentang status perkawinan siri pasangan tersebut. Secara umum perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum/syariat Islam, tapi tidak dilakukan di depan Pegawai Pencatat Nikah. Karena itu, perkawinan siri sah secara agama, akan tetapi secara hukum negara belum sah karena belum memenuhi syarat sahnya suatu perkawinan sebagaimana kami sebutkan di atas (lihat Pasal 2 UUP).

Dengan tidak dilakukannya pencatatan atas perkawinan tersebut, perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (lihat Pasal 6 Kompilasi Hukum Islam atau KHI). Hal ini tentunya membawa akibat hukum yaitu tidak adanya pengakuan dan perlindungan hukum terhadap perkawinan tersebut, termasuk terhadap hak-hak istri dan anak-anak hasil dari perkawinan siri. Begitu juga untuk melakukan gugatan cerai, tidak ada lembaga negara yang bisa menanganinya dan memberi perlindungan pada hak-hak anak dan istri. Lebih jauh, simak artikelPerceraian Kawin Siri. Sehingga, memang terhadap perkawinan siri tersebut tidak ada mekanisme perceraiannya.

Sekarang kita bahas mengenai status perkawinan kedua pasangan tersebut yang dilakukan secara Katolik dan telah dicatatkan di catatan sipil. Karena perkawinan ini telah dilakukan sesuai agama (Katolik) dan dicatatkan oleh pegawai pencatat nikah sesuai UU, maka perkawinan inilah yang sah secara hukum.

Dalam hal kemudian pasangan tersebut ingin bercerai, pada dasarnya agama Katolik menentang adanya perceraian. Namun, secara hukum negara, di Indonesia diatur bahwa:
1.    Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2.    Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(lihat Pasal 39 ayat [1] dan ayat [2] jo Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Mengenai alasan-alasan perceraian ini dapat Anda lihat dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan). Lebih jauh, simak artikelPerceraian Agama Katolik (2).

Meskipun dalam perjalanan perkawinan tersebut masing-masing kemudian masih mempertahankan keyakinannya (agamanya) masing-masing, untuk memutuskan perkawinan yang dilakukan secara Katolik maka perceraian juga harus dilakukan secara Katolik. Selain itu, perceraian juga harus dilakukan secara perdata melalui pengadilan negeri untuk memutuskan perkawinan secara hukum negara.

Dalam praktiknya, permohonan cerai secara Katolik jarang sekali dikabulkan. Tapi, pasangan tersebut tetap dapat bercerai secara perdata, walaupun secara Katolik perceraian tersebut dianggap tidak sah. 

Walaupun Hukum Katolik menentang adanya perceraian, namun dalam Katolik dikenal adanya prosedur pembatalan perkawinan (anulasi). Akibat hukum dari pembatalan perkawinan menurut hukum gereja adalah kedua pihak yang telah dibatalkan perkawinannya dapat menikah lagi. Lebih jauh mengenai perceraian Katolik silahkan simak artikel Perceraian Agama Katolik.

Untuk proses perceraian secara perdata, istri/suami harus mengajukan gugatan cerai ke pengadilan negeri. Lebih lanjut mengenai proses perceraian dan hak asuh anak, simak Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat? dan Anak & Perceraian.

II.   Mengenai kalimat yang tertulis dalam surat perkawinan Gereja seperti yang Anda tanyakan, kami meminta pendapat dari Pastur di Paroki Salib Suci, Pastur Bani Suatmadji, CM. Menurut Bani dalam agama Katolik perkawinan campur (beda agama) dibagi menjadi dua yaitu:
        a. Beda agama dan beda gereja (misal: dengan Kristen);
        b. Beda agama (dengan agama lain).

Dalam hal laki-laki dan perempuan yang berbeda agama kemudian ingin melaksanakanperkawinan, dapat mengajukan dispensasi ke keuskupan di mana pasangan tersebut berada, minimal 3 (tiga) bulan sebelum melangsungkan perkawinan.

Dispensasi ini dimaksudkan untuk membebaskan pasangan tersebut dari larangan atau halangan untuk menikah. Larangan adalah apabila laki-laki dan perempuan yang ingin menikah itu berbeda agama dan berbeda gereja (poin a), sedangkan halangan adalah apabila salah satu dari pasangan beragama Katolik dan pasangannya beragama lain (tidak bergereja, misal: Hindu, Budha, Islam) (poin b). Dengan adanya dispensasi ini, meskipun ada larangan atau halangan untuk menikah, perkawinan dapat diperbolehkan untuk dilangsungkan. Sehingga, maksud dari kalimat “diberi kebebasan atas halangan beda agama no. 2088/D 0870/2001", pasangan tersebut diberi dispensasi untuk tetap dapat menikah meskipun berbeda agama. Dari sisi hukum, pernyataan ini merupakan bukti bahwa perkawinan pasangan tersebut telah sesuai dengan agama (Katolik).



Dikutip dari hukumonlie.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar