Minggu, 15 Mei 2016

Untukmu, yang masih terus kusebut dalam doa

Hey, sedang apa kamu sekarang?
Kubayangkan dirimu sedang tenggelam ditengah kesibukan. Serius menatap layar, memeras otak untuk belajar, atau tengah asyik berbicang bersama kawan seperjuangan. Sadarkah dirimu, kamu selalu tampak lebih gagah saat sedang berkonsentrasi penuh seperti itu?
Berani bertaruh, keberadaan calon istrimu ini sedang tak sedikit pun berkelebat di pikiran. Kau kerap menyingkirkanku demi bisa fokus mengejar impian. Tapi tak layak rasanya jika kuangkat suara keberatan. Menyadari bahwa kau telah dipersiapkan sepatutnya membuatku merapal syukur tak berkesudahan.
Aku selalu membayangkan bagaimana nanti kita akan bertemu. Apakah akan lucu, romantis atau justru sebenarnya kau dan aku sudah saling mengenal dari dulu? Apapun jalannya, aku berharap kelak kita akan saling memandang mata dan tahu:
Akulah muara akhir petualanganmu. Kehadiranmu, mencukupkanku.

Sayang, yang namanya selalu terapal dalam doa dari fajar hingga ujung malam.

Sesungguhnya aku tak sabar ingin segera bisa mengajakmu jalan-jalan. Kita memang bukan pasangan yang gila pada kencan romantis di cafe yang harganya membuat mata membesar. Kau dan aku rela berhemat, makan sederhana demi melihat dunia. Kita akan mengangkat keril. Menaklukkan puncak-puncak tertinggi bersama. Naik kereta keliling Jawa, menyeberang ke Bali, menjejakkan kaki di Nusa Tenggara.
Kau gigih berburu penerbangan termurah ke Papua sementara aku mengepak logistik untuk ekspedisi kita ke Puncak Jaya. Tak jarang aku protes pada mahalnya tiket keliling Indonesia. Merayumu untuk memilih melancong ke luar negeri saja. Jawabanmu membungkam kata, “Kita harus lebih dulu mengenal Indonesia. Demi bisa mengenalkannya ke anak-anak kita”.
Betapa beruntungnya aku menemukanmu, yang mencintaiku sebesar mencintai tanah airnya. Saat salju abadi akhirnya terjamah tangan, kau pun menatapku dan berkata: “Tuntas sudah janji kita pada calon anak atas Indonesia. Siapkan dirimu melihat dunia”.
Esoknya, akan kutemukan kau bekerja lebih keras demi bisa membawaku ke Venesia.

Ijinkan aku mengucapkan terima kasih atas keberadaanmu

Terima kasih telah mempersiapkan dirimu untuk menyambutku. Kau mengorbankan waktu tidurmu, merelakan indahnya masa mudamu. Saat teman-temanmu kecanduan main DoTA, kau justru begadang demi menyelesaikan tugas terakhirmu sebagai mahasiswa.
Kau memilih belajar bekerja dibanding nongkrong hingga pagi buta. Terima kasih atas kedewasaanmu. Sebagai pria, kamu sadar harus lekas lulus dan mulai menjajaki dunia.
Terima kasih sudah tumbuh jadi lelaki yang bisa diandalkan. Kamu tak hanya lihai memperbaiki mobil dan mengganti ban. Namun memang layak jadi panutan.
Kau memperlakukanku seperti layang-layang. Membuatku terbang tinggi, tanpa pernah lupa menarik senar. Bersamamu kutemukan kebebasan yang penuh penjagaan.

Maafkan aku yang belum bisa sepenuhnya jadi wanita idamanmu

Diluar sana masih banyak yang lebih cantik dibanding aku. Mereka yang lebih lihai memadankan baju. Cerdik memulaskan pewarna di muka tanpa harus canggung dihadapmu. Tapi kau menganggap semua aksesori itu tak perlu.
Kau ikhlas mengakrabi nadi di gurat leherku, kau pasrahkan liat tubuhmu pada tak lentiknya jari tanganku. Tak jarang aku malu saat kita bercumbu, namun kau lihai menyihirku jadi penggoda nomor satu: hanya untukmu.
Maafkan aku yang belum juga pintar memasak. Tak jarang kau akan temui makanan yang keasinan di akhir hari panjangmu. Alih-alih memarahiku, kau hanya mengusap rambut dan menuang kecap banyak-banyak.
Katamu sambil berusaha tersenyum manis, “Ini enak kok, cuma perlu agak manis sedikit”. Kau habiskan hidangan itu tanpa protes. Padahal kau bisa saja keluar rumah, memilih membeli makanan di restoran yang tak pernah mengecewakan lidahmu.
Terima kasih, untuk selalu menjaga hatiku.

Jika suatu hari kita bertengkar hebat, tolong ingatlah…


Kita bisa berubah jadi monster paling menyebalkan bagi satu sama lain. Kamu sudah tak tahan lagi dengan omelan cerewetku. Bagimu aku sudah terlalu banyak bicara. Aku pun tak lagi bisa mentoleransi kebiasaanmu yang terlihat jorok di mataku. Bagaimana bisa kaus kaki kotor tak kau taruh di keranjang cucian? Justru kau biarkan tergeletak di lantai.
Kamu ingin aku menerimamu apa adanya. Aku berharap kau berubah. Kita saling membentak. Jari tertuding tak mau kalah.
Saat aku sedang keras kepala – peluk aku dan ingatkan – mau tak mau salah satu dari kita harus diam. Cinta bukan kompetisi yang perlu menghitung poin menang-kalah. Waktu kau lelah menghadapi egoismeku, bicaralah. Calon istrimu ini tak pandai membaca kode tanpa arah. Di titik kau tak mampu lagi dan ingin pergi, ingat kembali. Tuhan tak mungkin mempersatukan kita dengan suci hanya untuk semudah itu diakhiri.

Maka, bersediakah kamu?

Maukah kau jadi kawan terbaikku membangun masa depan? Jadi orang yang aroma badannya kuhirup saban malam. Pria yang namanya tak pernah alpa kusebut di tiap sujud dan tangkupan tangan. Kita akan memulai segalanya dari nol. Barangkali kau dan aku tak akan langsung hidup nyaman. Rumah kontrakan sederhana juga sudah cukup membahagiakan.
Sudikah kamu jadi Bapak dari anak-anakku? Mereka yang akan kita dewasakan bersama. Nyawa-nyawa baru yang akan kita biasakan untuk rajin membaca. Tak mengalah pada kuasa tablet digital yang membuat mereka kian tak peka.
Akankah kau mengijinkanku jadi wanita yang memiliki nama belakangmu? Menjadi pribadi terhormat yang mengandung anak dari benihmu.
Maukah kau menghabiskan masa denganku? Dengan rendah hati menerima segala kurangku. Betapa aku akan bahagia saat akhirnya bisa jadi orang pertama yang kau lihat setiap membuka mata.
Kita akan menua bersama,ditemani tawa dan kerut yang makin nyata. Berjanjilah, tak peduli  nanti kita akan berselisih paham. Atau kekurangan uang. Saat anak-anak kita berulah dan menyusahkan — kau dan aku akan kembali saling menatap untuk menemukan keyakinan : kita akan tetap baik-baik saja.
Relakah  priaku, jika kau kudampingi sampai surga?

Sayang, dari 3,4 miliar pria diluar sana: aku berharap kamu ada.


Nendra hipwee

Tidak ada komentar:

Posting Komentar