Minggu, 10 Juli 2016

Membaca fikiran orang koma

Ribuan pasien terperangkap dalam keadaan vegetatif antara hidup dan mati. Tiga orang ilmuwan sedang bekerja untuk membebaskan mereka, seperti dilaporkan Roger Highfield. 
"Bayangkan saja, Anda terbangun, tapi terkunci di dalam kotak," kata Adrian Owen. 
"Kotaknya pas ukurannya, sampai ke jari tangan dan jari kaki. Ini kotak yang aneh karena Anda bisa mendengar semua yang ada di sekeliling Anda, tetapi suara Anda tidak bisa terdengar. Malah kotak ini begitu pas di wajah dan bibir Anda sehingga Anda tidak dapat berbicara, atau menimbulkan suara." 
"Mula-mula, ini rasanya seperti permainan. Lalu Anda mulai sadar. Anda dengar dan melihat keluarga Anda meratapi nasib Anda. Anda merasa kedinginan, lalu kepanasan. Anda selalu merasa haus. Teman dan keluarga mulai jarang menengok. Pasangan Anda meninggalkan Anda. Dan tak ada satu hal pun yang bisa Anda lakukan," kata Owen. 

Owen dan saya sedang berbicara di Skype. Saya berada di London, Inggris, dan dia berada di London lain yang letaknya lima ribu enam ratus kilometer, di Universitas Western Ontario, Kanada. 
Rambut Owen yang kemerah-merahan dan janggut yang dipotong pendek terlihat besar di layar saya, saat ia dengan bersemangat menggambarkan penderitaan mereka yang tak bisa bersuara: para pasiennya. 

Orang-orang yang berada dalam "keadaan vegetatif" memang bangun terjaga tapi tidak sadar. Mata mereka bisa terbuka dan kadang-kadang melihat ke mana-mana. Mereka dapat tersenyum, memegang tangan orang lain, menangis, mengerang atau mendengus. 
Tetapi mereka tidak peduli dengan tepukan tangan, tidak dapat melihat atau memahami pembicaraan. Gerakan mereka tidak bermakna tapi sekadar reflektif.
Mereka kelihatannya tidak lagi memiliki ingatan, emosi dan tujuan, atau hal-hal yang membuat kita semua menjadi satu individu. 
Benak mereka tetap tertutup rapat. Walau ketika kelopak mata berkedip terbuka, kita selalu bertanya-tanya apakah di balik itu ada kesadaran.
Satu dasawarsa yang lalu, jawabannya pasti suram dan jelas tidak ada. Tidak lagi ada. 
Namun dengan menggunakan pemindai otak, Owen menemukan sejumlah orang yang terperangkap dalam tubuh mereka dapat berpikir dan merasa sampai ke tingkat tertentu. 
Jumlah pasien yang mengalami gangguan kesadaran meningkat besar dalam dasawarsa terakhir ini, ironisnya karena dokter sudah makin pandai menyelamatkan pasien yang mengalami luka-luka berat. 

Dewasa ini, mereka yang mengalami benak yang terperangkap, rusak dan menurun dayanya, menjadi penghuni banyak klinik dan rumah pengasuhan di seluruh dunia. 
Di Eropa saja jumlah kasus koma diperkirakan mencapai 230.000 per tahun, dan 30.000 dari angka itu akan tetap hidup merana dalam keadaan vegetatif permanen.
Mereka menjadi artefak paling tragis dan mahal dari perawatan intensif modern. Owen sangat paham tentang hal ini.
Pada tahun 1997, seorang teman dekatnya berangkat kerja seperti biasa naik sepeda. Anne (bukan nama sebenarnya) memiliki satu titik lemah di pembuluh darah di kepalanya, yang dikenal juga sebagai aneurisma otak. Baru lima menit mengayuh sepeda, aneurismanya pecah dan ia menabrak pohon. 
Ia tidak pernah sadar lagi. 
Tragedi ini membuat Owen terbungkam, namun kecelakaan yang dialami Anne ini membentuk sisa hidupnya. 
Ia mulai bertanya-tanya apakah ada cara untuk menentukan mana dari pasiennya yang berada dalam keadaan koma dan tak sadar, mana yang tidak sadar dan mana yang di tengah-tengah? 
Tahun itu, dia pindah ke Unit Kognisi dan Otak di Dewan Riset Medis di Cambridge, tempat para peneliti menggunakan berbagai macam teknik pemindaian. 
Salah satu tekniknya, yaitu positron emission tomography (PET), menyoroti berbagai macam proses metabolisme di otak, seperti penggunaan oksigen dan gula. 
Teknik lainnya, yang dikenal sebagai functional magnetic resonance imaging(FMRI), dapat mengungkapkan pusat-pusat yang aktif di otak dengan mendeteksi hentakan kecil dalam aliran darah yang terjadi ketika pikiran menderu. 
Owen bertanya-tanya apakah dia dapat menggunakan teknik-teknik ini untuk menjangkau para pasiennya, seperti temannya, yang terperangkap di antara kepekaan dan kehampaan. 

Keputusan dengan sadar 
Setengah abad lalu, jika jantung Anda berhenti berdenyut, Anda dapat dinyatakan meninggal meskipun Anda mungkin sepenuhnya sadar ketika dokter mengirim Anda ke kamar mayat. 
Hal ini mungkin dapat menjelaskan cerita-cerita buruk sepanjang sejarah mengenai mereka yang "bangkit dari kematian". Yang terakhir pada tahun 2011, dewan kota di Provinsi Malatya di Turki tengah mengumumkan mendirikan kamar mayat dengan sistem peringatan dan pintu ruang pendingin yang dapat dibuka dari dalam. 
Masalahnya adalah definisi ilmiah dari "kematian" tetap tak bisa dipecahkan sama halnya seperti definisi "kesadaran". Hidup tidak lagi dikaitkan dengan memiliki jantung yang berdenyut, kata Owen. 
Jika saya memiliki jantung buatan, apakah artinya saya mati? Jika saya menggunakan mesin pendukung hidup, apakah artinya saya mati? Apakah ketidakmampuan memelihara hidup secara mandiri merupakan definisi yang cukup masuk akal untuk kematian? 
Tidak, karena jika begitu maka kita semua akan "mati" dalam masa sembilan bulan sebelum dilahirkan. 
Isu ini menjadi makin menjadi pelik ketika kita memikirkan mereka yang terperangkap di dunia yang temaram antara kehidupan normal dan kematian, dari mereka yang masuk ke ketidaksadaran dan terbangunkan, yang terperangkap dalam "keadaan sadar secara minimal", sampai mereka yang "rusak" parah dalam keadaan vegetatif atau koma. 
Pasien-pasien ini pertama kali muncul setelah dikembangkannya alat pernapasan buatan di tahun 1950-an di Denmark, sebuah penemuan yang mendefinisikan kembali akhir masa kehidupan dalam ide mengenai kematian otak dan menciptakan bidang khusus perawatan intensif. 
Di sana, pasien yang tidak dapat memberikan respons dan yang berada dalam koma yang kelihatannya tidak akan bisa bangkit lagi dianggap sebagaivegetables (sayuran) atau jellyfish (ubur-ubur). 
Seperti biasanya ketika mengobati pasien, definisi merupakan hal penting: pemahaman mengenai kemungkinan sembuh, manfaat perawatan dan lain-lain semuanya tergantung pada diagnosis yang tepat. 

Pada tahun 1960-an, neurolog Fred Plum di New York dan ahli bedah saraf Bryan Jennett di Glasgow melakukan pekerjaan perintis untuk memahami dan mengkategorikan gangguan-gangguan kesadaran. 
Plum menciptakan istilah "locked-in syndrome", di mana pasien dalam keadaan terjaga tetapi tidak dapat bergerak atau berbicara. 
Dengan Plum, Jennett menyusun Skala Koma Glasgow untuk menilai kedalaman koma, dan Jennett kemudian menyusun juga Skala Hasil Glasgow untuk mengukur tingkat pemulihan, dari kematian sampai cacat ringan. 
Mereka bersama-sama mengesahkan istilah "keadaan vegetatif terus menerus" untuk para pasien yang, menurut mereka, "memiliki masa-masa terbangun ketika mata mereka terbuka dan bergerak, daya tanggap mereka terbatas pada gerakan anggota tubuh postural dan refleks primitif, dan mereka tidak pernah bicara". 
Pada tahun 2002, Jennett termasuk dalam kelompok neurolog yang memilih istilah "sadar secara minimal" untuk menggambarkan mereka yang kadang-kadang terbangun dan yang setengah terbangun, yang menunjukkan tanda-tanda kesadaran tak menentu sehingga satu saat mereka dapat mengikuti instruksi yang sederhana dan waktu lainnya tidak bisa. 

    Bahkan sampai hari ini pun, kita masih saja beragumentasi mengenai siapa yang sadar dan siapa yang tidak. 

    Pindaian pengungkap informasi 
    Kate Bainbridge, seorang guru sekolah berusia 26 tahun, jatuh koma tiga hari setelah ia menderita penyakit yang mirip dengan flu. 
    Otaknya terkena radang, bersama juga dengan bagian atas unsur primitif tulang belakang, yaitu batang otak, yang mengatur siklus tidur. 
    Beberapa minggu setelah infeksinya sembuh, Kate terjaga dari koma tapi didiagnosis sebagai berada dalam keadaan vegetatif. 
    Untungnya, dokter perawatan intensif yang bertanggung jawab atas dirinya, David Menon, juga merupakan Kepala Peneliti di Wolfson Brain Imaging Centre yang baru buka di Cambridge, di mana Adrian Owen kemudian bekerja. 
    Tahun 1997, empat bulan setelah didiagnosis sebagai vegetatif, Kate menjadi pasien pertama dalam keadaan vegetatif yang diteliti oleh kelompok Cambridge ini. 
    Hasilnya, yang diterbitkan tahun 1998, benar-benar tak terduga dan luar biasa.
    Bukan saja Kate bereaksi pada wajah: respons otaknya pun tak bisa dibedakan dengan otak para sukarelawan penelitian yang sehat. 

      Pindaian otaknya memperlihatkan cipratan warna merah, yang menandai aktivitas otak di bagian belakang otaknya, di bagian yang bernama fusiform gyrus, yang membantunya mengenali wajah orang. 

      Kate menjadi pasien pertama yang pindaian otaknya yang canggih (dalam kasus ini menggunakan PET) mengungkapkan "kesadaran terselubung". Tentu saja, apakah responsnya itu merupakan refleks atau tanda kesadaran, pada saat itu, masih diperdebatkan. 
      Hasil ini sangat penting bagi sains tapi juga bagi Kate dan orang tuanya. "Adanya proses kognitif yang masih terjaga baik membasmi nihilisme yang biasanya menguasai pengelolaan terhadap pasien semacam itu pada umumnya, dan mendukung keputusan untuk terus mengobati Kate dengan agresif," kata Menon mengenang kejadian itu. 
      Kate akhirnya bangkit dari penderitaannya, enam bulan setelah diagnosis dikeluarkan. 
      "Mereka mengatakan saya tidak bisa merasakan sakit," kata Kate. "Mereka salah."
      Kadang-kadang ia menjerit, tetapi perawat mengiranya hanya gerakan refleks. Kate merasa dilalaikan dan tak berdaya. Staf di rumah sakit tidak tahu seberapa menderitanya ia dalam perawatan mereka. 
      Kate merasa fisioterapi menakutkan: para perawat tidak pernah menjelaskan apa yang mereka lakukan kepadanya. Ia merasa takut ketika mereka membuang lendir dari paru-parunya. 
      "Saya tidak bisa menceritakan betapa menakutkannya, terutama ketika penyedot masuk ke mulut," kata Kate dalam tulisannya. Di satu saat, rasa sakit dan putus asanya menjadi begitu besar sehingga ia berusaha mengakhiri hidupnya dengan menahan napas. 
      "Saya tidak bisa menghentikan hidung saya untuk bernapas, usaha saya tidak berhasil. Tubuh saya tampaknya tidak ingin mati." 
      Kate mengatakan kesembuhannya tidak langsung seperti ketika kita menyalakan lampu, tetapi perlahan-lahan. Diperlukan waktu lima bulan sampai ia bisa tersenyum. 
      Namun saat itu ia sudah kehilangan pekerjaannya, indra penciuman dan indra perasanya, dan banyak hal lain yang seharusnya menjadi masa depannya. 
      Kini Kate tinggal lagi bersama orang tuanya. Ia masih sangat tak mampu bergerak dan memerlukan kursi roda. 
      Perlahan-lahan Kate mulai berbicara lagi dan, walaupun masih marah mengenai caranya diperlakukan ketika ia berada dalam keadaan paling rentan, ia tetap berterima kasih kepada mereka yang membantu benaknya untuk melarikan diri dari perangkap. 
      Di kampus di selatan Liege yang seperti hutan, Steven Laureys meneliti para pasien vegetatif dalam penelitian yang sudah berlangsung beberapa decade. 
      Bekerja di sana sebagai bagian dari Cyclotron Research Centre di tahun 1990-an, Laureys merasa terkejut ketika pindaian otak PET mengungkapkan bahwa pasien dapat memberi tanggapan ketika nama mereka disebut: suara yang mengandung arti memproduksi perubahan dalam aliran darah di korteks utama pendengaran. 
      Sementara itu, di sisi lain Atlantik, Nicholas Schiff menemukan bahwa dalam otak yang rusak parah masih ada bagian yang bekerja, gugusan sisa-sisa aktivitas saraf. Apakah artinya ini? 

      Mau main tenis? 
      Pada saat itu, dokter mengira mereka sudah mengetahui jawabannya, bahwa tidak ada pasien dalam keadaan vegetatif terus menerus yang sadar. 
      Tidak peduli bahwa menatap gambar membuat bagian otak menyala, sanggah mereka: bahkan pada kera yang dibius pun itu bisa terjadi. 
      Berdasarkan pengalaman sebelumnya, otak yang kekurangan oksigen akibat serangan jantung atau stroke tidak mungkin bisa sembuh jika tidak sembuh dalam beberapa bulan pertama. 
      Para pasien ini mengalami nasib yang dianggap banyak orang lebih buruk dari kematian, yaitu secara fungsional mereka sudah tidak berotak tapi tidak mati. 
      Dokter, dengan niat baik mereka menganggap sudah bisa diterima untuk mengakhiri hidup pasien yang vegetatif dengan membuat mereka lapar atau dibiarkan tanpa air. Inilah masa yang disebut Laureys sebagai "nihilisme terapeutik". 
      Apa yang diusulkan Owen, Laureys dan Schiff adalah upaya untuk memikirkan kembali tentang pasien yang dianggap vegetatif. 
      Sejumlah di antaranya bisa dikelaskan sebagai sadar penuh dan terkunci (locked in). Pemikiran yang sudah mapan dengan tabah mereka lawan. 
      "Anda tak akan bisa membayangkan keadaan di penghujung tahun 1990-an," kata Schiff. "Permusuhan yang kami hadapi bukan sekadar skeptisisme saja." 
      Sambil mengingat masa lalu, Laureys berhenti berkata dan tersenyum tipis, "Para dokter medis tidak senang kalau dikatakan bahwa mereka salah." 
      Lalu datang tahun 2006. Owen dan Laureys sedang berusaha menemukan cara yang dapat diandalkan untuk berkomunikasi dengan pasien dalam keadaan vegetatif, termasuk Gillian (bukan nama sebenarnya). 
      Pada bulan Juli tahun 2005, Gillian berusia 23 tahun ini sedang menyeberang jalan sambil mengobrol di teleponnya. Ia dtabrak dua mobil. 

        Lima bulan kemudian, serangan stroke secara kebetulan malah membuka kotak yang mengurung Gillian. 

        Temuan kunci yang muncul dari studi sistematik Owen dimulai dengan Laurey di tahun 2005. Mereka meminta para sukarelawan yang sehat untuk membayangkan melakukan hal berbeda-beda, mulai dari menyanyi sampai membayangkan wajah ibu mereka. 
        Lalu Owen mendapat ide lain. "Saya minta orang yang sehat membayangkan main tenis, lalu membayangkan berjalan keliling ruang di rumahnya." 
        Membayangkan bermain tenis menghidupakan bagian korteks, yang disebut daerah motorik tambahan, yang terlibat dalam simulasi mental atas gerakan.
        Namun membayangkan berjalan keliling rumah mengaktifkan parahippocampal gyrus di bagian inti otak, di parietal lobe bagian belakang dan lateral premotor cortex. 
        Kedua pola aktivitas ini jelas perbedaannya seperti 'ya' dan 'tidak'. Jadi, jika orang-orang diminta main tenis itu artinya untuk menjawab "ya" dan keliling sekitar rumah untuk menjawab "tidak", dan mereka dapat menjawabnya melalui pemindaian FMRI. 
        Sambil menatap otak Gillian yang vegetatif menggunakan pemindai otak, Owen memintanya melakukan membayangkan hal yang sama dan ia melihat pola aktif yang sama seperti pada para sukarelawan yang sehat. 
        Itu merupakan momen luar biasa. Owen dapat membaca pikiran Gillian!
        Kasus Gillian ini diterbitkan dalam jurnal Science tahun 2006, dan menjadi berita utama di sleuruh dunia. 
        Sejak itu studi yang dilakukan di Belgia, Inggris, Amerika Serikat dan Kanada menyatakan bahwa sejumlah besar pasien yang diklasifikasikan sebagai vegetatif dalam beberapa tahun ini telah mendapatkan diagnosis yang salah. 
        Owen memperkirakan bahwa mungkin kesalahan diagnosis mencapai sampai 20%.
        Schiff, yang menilai kesalahan diagnosis dengan cara lain menyebutkan bahwa berdasarkan studi baru-baru ini, 40% pasien yang dianggap vegetatif ketika diperiksa lagi lebih dekat, ternyata sebagian sadar. 

        Cahaya masuk di kegelapan 
        Dewasa ini sudah biasa untuk memikirkan masa trasisi antara hidup dan mati sebagai masalah "otak", alih-alih masalah "jantung". 
        Pasien yang berada dalam keadaan vegetatif terus menerus masih memiliki batang otak yang berfungsi dan dapat bernapas tanpa bantuan. 
        Mereka juga mungkin memiliki beberapa tingkat kesadaran dan memiliki sedikit harapan untuk sembuh. 
        Sebagai perbedaan, pemindaian PET terhadap seseorang yang otaknya sudah mati memperlihatkan kekosongan gelap dalam tengkorak kepala, sebuah landskap saraf yang gersang tanpa harapan untuk bangkit lagi; tubuh mereka pun tidak akan bisa bertahan tanpa bantuan artifisial. 
        Schiff percaya bahwa kombinasi peralatan, obat-obatan dan terapi sel, menjadi dasar untuk diagnosis dan pengobatan generasi baru, yang akan memberikan secercah cahaya pada ketidakjelasan antara sadar dan tidak sadar. "Saat ini kita belum mencapai titik itu," katanya menekankan. 
        Banyak dari pekerjaan dewasa ini mendemonstrasikan pentingnya pemindaian otak pada pasien, namun tentunya mereka akan memerlukan metode yang dapat diandalkan untuk semua pasien. 
        Pada akhirnya, Schiff percaya akan ada "pergeseran budaya". 
        Laureys berpikir mungkin kita harus mulai dengan bahasa yang kita pakai untuk menggambarkan para pasien ini. 
        Ia ingin menggantikan istilah "vegetatif" yang memiliki banyak muatan makna dengan istilah yang lebih netral "keterjagaan yang tidak responsif".

        (Sumber: bbc.co.uk/indonesia)

        Tidak ada komentar:

        Posting Komentar