Minggu, 30 Oktober 2016

Rehat

Selama hidup saya dicekoki nasihat supaya jangan sekali-kali menyerah pada keadaan. Tapi, kali ini saya membiarkan untuk berhenti mengaminkan nasihat yang kelihatannya mulia itu, tapi menjerat saya semakin frustrasi dan melelahkan. Berjuang terus itu menghabiskan energi, ada masanya seseorang membutuhkan waktu rehat. Itu mengapa tidur diperlukan dan sebuah bukti betapa tidak berdayanya saya melawan kantuk.

Saya dibiarkan menyerah kalah agar setelah itu saya menjadi manusia seutuhnya. Jadi, kalau ditanya bagaimana rasanya asam, manis, dan pahit, kalah dan menang, paling tidak saya tahu. Maka, benarlah kalau hidup itu penuh dengan sejuta rasa, dan berjuta rasa.

Keadaan yang saya hadapi tak berubah, masih harus dihadapi dengan banyak jalan berliku. Tetapi, hal paling menyenangkan dari menyerah kalah adalah melihat peristiwa yang sama dengan lensa mata yang berbeda.

Kalau sudah rela, saya cuma tinggal menjalaninya seperti mengikuti aliran air, tanpa berniat melawan arus dengan sejuta rekayasa, atau balas dendam. Kalah itu menang. Di situasi tak berdaya itu, Tuhan memberikan lensa yang terang untuk melihat kekalahan dari sisi yang lain. Maka, demo kepada Sang Khalik itu semestinya memang tak perlu ada.

Kalah yang menenangkan dan memenangkan itu adalah membiarkan nasi menjadi bubur, dan melihat bubur, kemudian timbul ide untuk menambahkan ke dalamnya potongan ayam, kecap manis, daun bawang, telor setengah matang, dan kuah kaldu. Maka, pada situasi itulah saya bersyukur bahwa dalam hidup ini nasi bisa jadi bubur. Uenak!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar