Senin, 22 Agustus 2016

Renungan kecil



Sedari belia tanpa sadar kita dibesarkan dalam program menjadi “manusia yang menghasilkan.” Lihat saja bagaimana sistem ranking, Ujian Nasional, sampai sistem penerimaan mahasiswa baru memaksa kita berlomba-lomba memperoleh nilai tertinggi. Jika nilai tidak mencukupi silahkan pergi, ambil giliran untuk masuk kategori warga kelas kedua .

Waktu berlalu. Kamu, saya: kita — beranjak jadi manusia dewasa. Definisi soal pencapaian berganti dengan segera. Bukan lagi soal nilai yang membuat orang-orang di sekitar bangga, harga diri kita kini ditentukan oleh apa yang kita miliki sebagai manusia.

“Lulusan universitas mana? Lulus berapa tahun? Cumlaude?”

Seperti tren fashion, pertanyaan itu akan berganti ketika sudah mulai bekerja dan sedang berusaha mapan sebagai orang dewasa:

“Kamu kerja apa?”

“Gajinya berapa?”

“Perusahaanmu menawarkan kompensasi apa saja? Menarik kah jaminan kesehatan dan kesejahteraannya?”

“Sudah punya rumah? Sudah punya uang muka untuk cicilan KPR?”

Sebagai manusia kita tak ubahnya etalase penuh lampu. Semua pencapaian tertempel di atas badan, dihiasi penerangan, agar orang tak dikenal pun bisa dengan mudah melihatnya dari kejauhan.

Dunia ini terlalu sibuk untuk meluangkan waktu, sehingga dia yang bergaji di bawah 2 juta karena menuruti idealisme dianggap pemalas. Dipaksa berlari, karena biaya cicilan rumah akan semakin tinggi dari hari ke hari.

Kamu, saya — kita adalah manusia yang pelupa. Kita terlalu sibuk dengan gawai mentereng di hadapan sehingga tak punya waktu untuk bermain peran. Bukankah ada kebaikan dari tangan yang lain di balik setiap pencapaian? Bukankah ada hal yang tak kasat mata yang sudah mengatur semuanya?

Sepintar apapun kamu jika kamu lahir di tengah keluarga petani tomat kepandaian itu maksimal akan berujung pada gelar SMK. Tak bisa dibanggakan untuk mendapatkan nilai A di mata kuliah Hukum Perdata.

Jika saja kamu tak punya uang untuk kuliah, kesempatan kerja jadi MT di perusahaan multi nasional ternama tak akan pernah tiba. Apa lagi membayangkan bisa dapat beasiswa — terlampau jauh rasanya.

 Kita terlalu sibuk menghitung. Sampai lupa bahwa dalam banyak hal kita hanya termasuk golongan manusia yang beruntung

Rendra

Tidak ada komentar:

Posting Komentar