Senin, 26 Desember 2011

mengenal pernikahan berdasarkan UU part I


Pernihakan adalah ikatan lahir bantin antara seorang pria dan wanita sebagai sebagai suami dan istri dengan tujuan memberntuk keluarga yang bahagia dan kekal berasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU nomor 1/1974).

Dengan demikian, perkawinan itu tidak cukup hanya dengan ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi antara kedua-duanya harus bersatu, sebab apabila perkawinan itu hanya merupakan ikatan lahir maka perkawinan hanya akan mengungkapkan suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri, dengan kata lain dapat disebut hanya merupakan hubungan yang bersifat formal saja.

Oleh karena itu, dengan adanya perpaduan antara  ikatan lahir dan ikatan batin maka  fondasi untuk  membentuk keluarga  tidak mudah putus begitu saja.  

Perkawinan merupakan sesuatu yang suci, yang dianggap luhur untuk dilakukan, sehingga apabila seseorang hendak melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang sifatnya sementara saja tidaklah diperkenankan.

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal dengan kriteria sebagai berikut:
  1. Suami istri saling bantu membantu serta saling melengkapi
  2. Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya
  3. Menciptakan keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material

Agar tujuan dari pernikahan dapat tercapai, maka kita harus memperhatikan syarat-syarat pernihakan. UU nomor 1 tahun 1974 menjelaskan syarat-syaratnya:
  1. mendapatkan persetujuan dari kedua calon mempelai (pasal 6 ayat1)
  2. Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun dan wanita 16 tahun
  3. Tida terikat tali perkawinan dengan pihak lain (pasal 9), kecuali diijinkan oleh pasal 2 ayat 1 dan pasal 4
  4. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya, berlaku masa idah (pasal 11 ayat 1) dan waktunya ditentukan dalam pasal 39 PP nomor 9 tahun 1975
  5. Tidak melanggar larangan kawin (perkawinanan sedarah) seperti yang tertera dalam pasal 8, 9 dan 10 UU nomor 1 tahun 1974.
  6. Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan suami istri yang akan dikawini pasal 10.
  7. Ijin kedua orang tua mereka

Setelah memperhatikan syarat-syarat perkawinan mari kita mengkaji lebih lanjut mengenai sah tidanya suatu perkawinan. UU nomor 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan agama/ kepercayaan dari mempelai itu sendiri.  Selama tidak ada yang bertentangan maka, pernikahan tersebut tlah sesuai dimata hukum.

Ketika pria dan wanita tlah dinyatakan sah menjadi pasangan suami dan istri, maka keduanya memiliki akibat hukum dari pernikahan itu.
  1. terhadap hak dan kewajiban suami istri UU nomor 1 tahun 1974 mengatur mengenai hak dan kewajiban suami istri  dalam pasal 30  sampai 34.  Antara suami istri diberikan kedudukan yang  seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupun hidup bersama dalam       masyrakat (pasal 31).
  1. Selain memliki kewajiban sendiri-sendiri. Suami istri juga memiliki kewajiban bersama, yakni :
1.      sumai istri harus memiliki tempat kediaman yang tetap (pasal 32 ayat 1 dan 2)
2.      Suami istri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin satu sama lain (pasal 33)
3.      memperhatikan anak-anak mereka (pasal 42)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar