Senin, 07 September 2015

Hebat dan tidak hebat

HEBAT DAN TIDAK HEBAT
oleh Samuel Mulia
Parodi, ‘Kompas’ Minggu, 27 Maret 2011

Saya mebaca sebuah pesan di media sosial begini. “Suami saya jarang memberikan komplimen. Sekalinya dia memuji, itu berarti apa yang saya lakukan itu hebat banget.” Kalimat itu membuat saya berpikir selama satu minggu.
            Begitu banyak sudut pandang yang bisa diceritakan kalau hanya sekadar membaca kalimat yang buat saya pertama berkesan, kurang ajar banget nih suami.
Kompor
            Tetapi kemudian saya mendiamkannya. Selama satu minggu. Memang benar kadang emosi itu diperlukan, tetapi kalau mudah meledak, juga gak ada baiknya. Emosi yang meledak itu tak membawa manusia ke sebuah situasi yang nyaman.
            Setelah berusia nyaris lima puluh tahun sebagai kompor yang mudah meledak, baru belakangan, saya baru bisa mengurangi pembeledukan itu. La wong rekan usaha saya suka bilang gini, “Gue mau bacain SMS ini ya. Cuma elo nggak boleh emosi.” Kalimat itu selalu diucapkannya sampai hari ini.
            Setelah satu minggu, saya mulai berpikir, apa sih hebat dan tidak hebat itu? Kalau sekarang saya yang disuruh menjelaskan, dari kacamata manusia yang IQ-nya standar banget, yaa… hebat itu kalau dari nol bisa menjadi nol koma lima, tak perlu sampai satu atau satu miliar. Pertumbuhan dari nol menjadi tidak nol lagi, atau dari tidak tahu menjadi tahu sedikit dulu, buat saya itulah yang namanya hebat.
            Lagian saya punya pengalaman begini. Orang marah terhadap saya karena mereka memiliki IQ yang lebih tinggi dan mengajar saya yang IQ-nya serendah dingklik. Maka, nggak ketemulah dua dunia yang berbeda secara ekstrem itu. Kemudian timbul friksi dalam wujud suara berbunyi seperti ini, “Tolol kamu.” Anda tahu pastinya, IQ mana yang “bernyanyi” seperti itu, bukan?
            Yang dilahirkan hebat, kebiasaan menjadi hebat. Mereka senantiasa melihat dengan IQ yang setinggi langit. Mereka tak terbiasa menjadi bodoh. Itu bukan salah mereka, megapa mereka pandai. Meski dunia senantiasa menyalahkan yang bodoh, padahal saya sama seperti yang hebat, itu bukan salah yang tidak hebat kalau punya IQ serendah dingklik. Tapi, umumnya, yang hebat biasanya tak mau tahu.
            Saya punya teman yang punya bos. Teman saya bilang begini, “Bos gue itu nggak galak, tapi gak suka sama bawahan yang cuma bisa bilang, proyek ini gak bisa dijalankan. Bos gue tu mau tau, kalau nggak bisa, cari solusi supaya bisa.”
            Begitulah kalau yang hebat ketemu yang nggak hebat. Yang hebat bisa memilih langkah sejuta, yang biasa-biasa mau melangkah saja deg-degan. Anehnya, yang hebat menaruh harapan pada yang deg-degan itu.
Kecoak
            Kadang saya juga heran, apa gunanya ada orang yang tidak hebat dan orang yang hebat? Sama seperti saya berpikir, apa gunanya kecoak diciptakan? Kalau harimau, kan gagah. Dibantau masih bisa dijadikan hiasan dinding yang menggambarkan pemilik rumahnya hebat dan gagah perkasa. Kecoak? Kan gak mungkin dijadikan hiasan dinding.
            Yang tidak hebat bisa mengontrol yang hebat supaya mereka melatih kesabaran. Karena hebat dan kesabaran tidak berbanding lurus. Sama seperti kecoak, untuk memberi tanda bahwa rumah si hebat dan yang tidak hebat kotornya luar biasa. Artinya, sebodoh apa pun manusia itu, pasti ada sisi di mana ia masih berguna di dunia ini.
            Karena yang hebat bisa jadi bodoh di sisi lain. Yang bodoh bisa jadi pandai di sisi yang lain. Maka, orang disebut hebat kalau ia peka menemukan sisi pandai orang yang tidak hebat, dan bukan mengeluh betapa tidak hebatnya si tidak hebat itu.
            Kembali pada kalimat di atas. Kalau sang istri mengatakan suaminya jarang memberikan komplimen dan hanya memberikan pujian kalau ia melakukan sesuatu yang hebat, itu bisa diartikan macam-macam.
            Pertama, bisa jadi suaminya takut menjadi kalah hebat dan meleceh dalam waktu yang bersamaan. Kedua, bisa jadi, sang suami susah mengekspresikan perasaan. Dengan IQ yang tidak hebat, saya berpikir, manusia di mana pun kok rasanya lebih suka menerima pujian dibandingkan caci maki.
            Komplimen itu menyemangati hidup dan bentuk sebuah penghargaan. Nah, menerima pasangan dengan segala sifatnya tidak diartikan untuk tidak mau berubah. Kalau susah mengekspresikan perasaan, belajar. Jangan orang disuruh menerima semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar