Sabtu, 13 Juni 2015

Menikmati Hidup

Seandainya ada pertanyaan, apakah fungsi kacamata? Maka alhasil akan ada sejuta jawaban. Kalau kacamata melihat dekat yaa… untuk melihat yang dekat-dekat, kalau kacamata melihat jauh yaa… untuk melihat yang jauh supaya menjadi jelas. Kalau kacamata gaya? Yaa… untuk bergaya. Kalau kacamata gaya yang untuk melihat jauh? Ya untuk keduanya. Persis seperti milik teman saya. Saya tak tahu kalau kacamata kuda. Mungkin supaya bisa melihat kuda dengan jelas.
Cepat
            Beberapa hari lalu saya mengikuti seminar, salah satu pembicara menyarankan kalau seseorang tengah dalam kondisi terpuruk, harus cepat naik lagi. Sambil duduk dengan tenang tetapi otaknya tidak tenang, suara hati saya bertanya. “Emang bisa? Pakai apa? Bagaimana caranya?”
            Saya hanya berpikir, bagaimana orang tengah terpuruk berada dalam titik terendah bisa membantu dirinya sendiri untuk naik ke atas apalagi dengan cepat? Siang itu saya sempat kesal. Mengapa pembicara dalam seminar macam begini selalu saja mengajak kita berpikir positif. Mengapa mereka tak menyarankan untuk menikmati keterpurukan sampai benar-benar terpuruk, dan menikmati kalau terpuruk itu sebuah pengalaman manusiawi yang positif?
            Bukankah merasa terpuruk mengesahkan kita adalah manusia? Kalau terpuruknya kemudian berlarut-larut, itu masalah lain. Tetapi kalau disuruh cepat naik ke atas lagi, tidakkah itu justru negatif sekali dan tidak manusiawi? Karena biasanya kalau orang sudah tidak bisa apa-apa, tak berdaya sama sekali, baru timbul kepasrahan, bukan? Jadi kalau cepat naik kepasrahan tak akan muncul dan akan mudah untuk jatuh kembali.
            Saya berpikir pasrah itu baru bisa dilakukan kalau seseorang menyentuh titik terendahnya. Pasrah itu positif, dan itu bisa timbul kalau mampu menikmati terlebih dahulu yang terpuruk, yang katanya negatif itu. Katanya, kalau ada masalah, maka masalah itu mampu menimbulkan tahan uji bagi yang tengah menjalaninya. Dan katanya lagi, tahan uji itu melahirkan ketekunan. Dan katanya kalau sudah bisa tekun, hasilnya kemudian tampak seperti seorang petani yang bersorak saat menuai dengan hasil yang melimpah.
Lambat yang nikmat
            Nah, itu mungkin  gunanya menggunakan dan memilih kacamata kehidupan yang tepat. Sama seperti kalau sebelum mengenakan kacamata, mata saya diperiksa supaya tahu dengan jelas dan tepat, seberapa tingkat error daya pandang mata dan untuk mengetahui sebab terjadinya ke-error-an itu. Itu mengapa kalau seseorang menggunakan kacamata yang tidak atau kurang tepat maka sering sakit kepala, mau itu cenut-cenut mau itu seperti berputar rasanya.
            Maka kalau seseorang dalam kondisi terpuruk buat saya kacamata yang harus dipilih adalah kacamata nikmat namanya. Tidak bisa tidur, yaa… dinikmati. Susah makan, yaa… dinikmati. Kepikiran terus, yaa… dinikmati. Lama-lama, kan, terbiasa untuk tak bisa tidur, susah makan, dan kepikiran. Semua ini adalah pengalaman yang patut disyukuri, Anda dan saya menjadi kaya karenanya. Pernah gampang makan, pernah susah makan.
            Dan di saat itu menurut pengalaman saya yang sejuta kali terpuruk ini, kacamata nikmat itu yang membuat saya bisa melihat dengan jelas bagaimana saya harus naik lagi. Alasannya bisa naik lagi, karena lama-lama situasi terpuruk menimbulkan kelelahan dan kalau sudah lelah mulut saya bisa bersuara. “Yaahh… sudahlah terserah aja.”
            Maka suara berkeluh yang pasrah itu menjadi alat semacam tangga yang mengantar saya ke atas, karena saya sudah tak tahu mau berbuat apa lagi, kecuali yaa… untuk naik kembali yang artinya mengakhiri keterpurukan itu. Orang itu paling mudah diterapi kalau pasrah, kalau ia menyadari ia tak mampu berbuat apa-apa lagi. Pasien paling susah diobati adalah kalau dokter mengatakan ia sakit, tetapi dirinya tak merasa sakit.
            Saya memang gampang bicara dan menuliskan soal ini, tetapi kenyataannya, sampai mulut saya bisa bersuara terserah itu, bisa memakan waktu berminggu-minggu yang artinya kalau lebih atau sama dengan empat minggu, maka kata minggu itu bisa dilafalkan bulan. Jadi tak bisa cepat naik dan buat saya tak perlu cepat naik.
            Semua yang cepat itu tidak selalu sehat. Kadang terlambat itu menyelamatkan. Tidak terburu-buru itu melindungi. Nanti kalau badai itu sudah berlalu, saya akan menjadi seperti seorang ahli dalam soal menghadapi keterpurukan dan bagaimana caranya untuk naik lagi dengan kepasrahan.
            Siapa tau suatu hari saya datang ke sebuah seminar dan salah satu pembicaranya adalah Anda. Seorang pembicara yang mampu menyarankan bahwa kehidupan yang bergejolak itu, yang menenggelamkan itu adalah sebuah nikmat yang seharusnya dianggap sebagai sebuah berkah, dan tidak perlu untuk diburu-buru dihilangkan.
            Dan di akhir seminar, Anda akan dengan lantang berbicara. “Kacamata yang tepat mampu memberi nikmat dalam keterpurukan, merasakan kemanusiaan yang sesungguhnya, mengalami kepasrahan, yang tahan uji dan yang melahirkan ketekunan.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar