Selasa, 29 September 2015

Senjata Umat Muslim

Kehidupan ini ibarat medan perang, yang menuntut kesiapan dan kesiagaan bagi siapapun yang menjalaninya. Tiap-tiap jiwa sudah menjadi partisipan sejak lahir, dan akan purna ketika mereka meninggal dunia.
Pada rentang waktu yang hanya diketahui oleh Allah subhanahu wa taala ini, berbagai masalah siap menggoncang manusia agar takluk dan tunduk pada dunia yang fana. Masalah membuat manusia mudah berputus asa, lengah terhadap godaan, dan lupa kepada Tuhannya. Jika hal itu terjadi, mereka dianggap gagal mengemban misi yang telah dibebankan, yaitu sebagai khalifah di muka bumi.
Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. (QS. An-Naml [27]:62)
Dalam suasana perang yang berkecamuk, wajib bagi kita untuk membekali diri dengan pelengkapan perang. Jika tidak, tentu akan berisiko besar mengalami kegagalan. Jika sudah begitu, pilihannya hanya ada tiga; pulang dengan tangan hampa, menjadi tawanan, atau mati sia-sia. Sebenarnya ada pilihan lain, yaitu bertahan hidup dan memenangkan peperangan. Namun untuk mencapai kondisi itu, semuanya harus dipersiapkan dengan matang.
Selain membekali diri dengan peralatan perang, kita juga harus mahir dalam menggunakannya. Percuma kita repot-repot membawa peralatan itu, namun tidak dapat mempergunakannya dengan baik. Oleh karena itu, dalam menghadapi peperangan seperti ini kita harus rajin melatih diri. Agar ketika musuh sudah ada di depan mata, serangannya bisa kita tangkis, dan dengan mudah kita menebasnya hingga terkapar.
Sebenarnya, saya bukan hendak berbicara tentang peperangan, yang saya sendiri belum pernah mengalaminya. Mungkin secara teori garis besarnya seperti itu, tapi secara praktik wallahualam. Saya hanya ingin mengatakan (kembali), bahwa kehidupan ibarat medan perang. Lantas, seberapa siap kita menghadapinya?
Secara potensi, insya Allah kita sudah siap. Ada banyak dalil di dalam Al-Quran menerangkan bahwa Allah subhanahu wa taala telah memberikan karunia berupa kesempurnaan jasad, akal, dan hati. Salah satunya adalah, Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati.. Namun sayang, banyak di antara kita yang tidak sadar dengan potensi tersebut, hingga Allah berfirman dalam lanjutan ayat di atas, ..Amat sedikitlah kamu bersyukur! (QS. Al-Muminun [23]:78)
Di medan perang, teori dan potensi tak akan berarti kecuali ia bertransformasi menjadi kejelian dalam bertahan, dan ketangkasan dalam menyerang. Begitupun dengan kehidupan ini. Harus ada benteng pertahanan yang kokoh, dan pedang yang tajam pada diri kita. Dan itu sebenarnya sudah ada pada diri kita. Namun, seperti yang sudah dibahas di awal, semua tergantung bagaimana kita menggunakannya.
Maka inilah saatnya kita mengetahui rahasia sukses berperang di medan laga kehidupan ini. Bahwa perisai yang paling ampuh untuk menangkis semua permasalahan dunia adalah kesabaran. Sedangkan pedang paling tajam untuk membabat habis segala macam peluang adalah keikhlasan. Ya, rahasianya adalah sabar dan ikhlas, yang Umar radhiyallahu anhu pun tidak peduli akan mengendarai yang mana apabila keduanya adalah kendaraan. [ ]
Sumber Fimadani

Close

Jumat, 11 September 2015

Ada apa dengan cinta? 2

Ditengah dunia yang makin tak waras "kesetiaan" bak mitos, antara ada dan tak ada. Beberapa orang menilai kesetiaan seperti mimpi. Sebagian lagi malah menertawai cinta sejati hanya karena kondisi sekarang ini lebih enak tak setia, tidak menghargai pasangan, tak tahan mengarungi laut duka atau suka. Sehingga yang setia kini malah dinilai tak punya bobot. Aneh, bukan?

Karena kebanyakan melihat yang tidak setia, maka yang setia dkanggap keliru dan membuang energi. Jadi, ada apa dengan cinta?

Kadang saya juga heran, bukannya penghianatan itu dekat dengan luka?. Luka itu dekat dengan sakit.Lalu bisakah disebut cinta jika ia saling menyakiti?

Sakit itu tidak enak, membuat kita tidak leluasa, berpikir terbatas, serta gelisah tak terarah.

Saya tak ingin perumpamaan yang rumit akan kondisi ini. Hubungan itu harua sejajar, bukan sebaris. Karena sejajar berarti bersama, tidak sama dengan sebaris, yang memisah walau segaris.

Buat saya, menjalin hubungan yang baru bukan hanya untuk mengganti yang lama, yang patah, dan hancur berantakan. Hubungan itu memberi harapan, memberi semangat baru, menambah warna untuk jiwa.

Yang penting, saya harus lebih bijaksana memilih yang baru, bukan bijaksana mengumpulkan serpihan kepatahan dan mengelemnya satu per satu sehingga bisa terlihat lagi bentuknya meski ada goresan keretakan akibat menyambungnya kembali.

Saya ini harus belajar untuk berani kehilangan dan berani menempuh sebuah perjalanan baru meski kesempatan untuk kehilangan selalu bisa terjadi. Membiarkan patah itu juga supaya saya tidak egois, supaya manusia di hadapan saya itu juga turut bahagia.

*diolah dari berbagai sumber

Senin, 07 September 2015

Hebat dan tidak hebat

HEBAT DAN TIDAK HEBAT
oleh Samuel Mulia
Parodi, ‘Kompas’ Minggu, 27 Maret 2011

Saya mebaca sebuah pesan di media sosial begini. “Suami saya jarang memberikan komplimen. Sekalinya dia memuji, itu berarti apa yang saya lakukan itu hebat banget.” Kalimat itu membuat saya berpikir selama satu minggu.
            Begitu banyak sudut pandang yang bisa diceritakan kalau hanya sekadar membaca kalimat yang buat saya pertama berkesan, kurang ajar banget nih suami.
Kompor
            Tetapi kemudian saya mendiamkannya. Selama satu minggu. Memang benar kadang emosi itu diperlukan, tetapi kalau mudah meledak, juga gak ada baiknya. Emosi yang meledak itu tak membawa manusia ke sebuah situasi yang nyaman.
            Setelah berusia nyaris lima puluh tahun sebagai kompor yang mudah meledak, baru belakangan, saya baru bisa mengurangi pembeledukan itu. La wong rekan usaha saya suka bilang gini, “Gue mau bacain SMS ini ya. Cuma elo nggak boleh emosi.” Kalimat itu selalu diucapkannya sampai hari ini.
            Setelah satu minggu, saya mulai berpikir, apa sih hebat dan tidak hebat itu? Kalau sekarang saya yang disuruh menjelaskan, dari kacamata manusia yang IQ-nya standar banget, yaa… hebat itu kalau dari nol bisa menjadi nol koma lima, tak perlu sampai satu atau satu miliar. Pertumbuhan dari nol menjadi tidak nol lagi, atau dari tidak tahu menjadi tahu sedikit dulu, buat saya itulah yang namanya hebat.
            Lagian saya punya pengalaman begini. Orang marah terhadap saya karena mereka memiliki IQ yang lebih tinggi dan mengajar saya yang IQ-nya serendah dingklik. Maka, nggak ketemulah dua dunia yang berbeda secara ekstrem itu. Kemudian timbul friksi dalam wujud suara berbunyi seperti ini, “Tolol kamu.” Anda tahu pastinya, IQ mana yang “bernyanyi” seperti itu, bukan?
            Yang dilahirkan hebat, kebiasaan menjadi hebat. Mereka senantiasa melihat dengan IQ yang setinggi langit. Mereka tak terbiasa menjadi bodoh. Itu bukan salah mereka, megapa mereka pandai. Meski dunia senantiasa menyalahkan yang bodoh, padahal saya sama seperti yang hebat, itu bukan salah yang tidak hebat kalau punya IQ serendah dingklik. Tapi, umumnya, yang hebat biasanya tak mau tahu.
            Saya punya teman yang punya bos. Teman saya bilang begini, “Bos gue itu nggak galak, tapi gak suka sama bawahan yang cuma bisa bilang, proyek ini gak bisa dijalankan. Bos gue tu mau tau, kalau nggak bisa, cari solusi supaya bisa.”
            Begitulah kalau yang hebat ketemu yang nggak hebat. Yang hebat bisa memilih langkah sejuta, yang biasa-biasa mau melangkah saja deg-degan. Anehnya, yang hebat menaruh harapan pada yang deg-degan itu.
Kecoak
            Kadang saya juga heran, apa gunanya ada orang yang tidak hebat dan orang yang hebat? Sama seperti saya berpikir, apa gunanya kecoak diciptakan? Kalau harimau, kan gagah. Dibantau masih bisa dijadikan hiasan dinding yang menggambarkan pemilik rumahnya hebat dan gagah perkasa. Kecoak? Kan gak mungkin dijadikan hiasan dinding.
            Yang tidak hebat bisa mengontrol yang hebat supaya mereka melatih kesabaran. Karena hebat dan kesabaran tidak berbanding lurus. Sama seperti kecoak, untuk memberi tanda bahwa rumah si hebat dan yang tidak hebat kotornya luar biasa. Artinya, sebodoh apa pun manusia itu, pasti ada sisi di mana ia masih berguna di dunia ini.
            Karena yang hebat bisa jadi bodoh di sisi lain. Yang bodoh bisa jadi pandai di sisi yang lain. Maka, orang disebut hebat kalau ia peka menemukan sisi pandai orang yang tidak hebat, dan bukan mengeluh betapa tidak hebatnya si tidak hebat itu.
            Kembali pada kalimat di atas. Kalau sang istri mengatakan suaminya jarang memberikan komplimen dan hanya memberikan pujian kalau ia melakukan sesuatu yang hebat, itu bisa diartikan macam-macam.
            Pertama, bisa jadi suaminya takut menjadi kalah hebat dan meleceh dalam waktu yang bersamaan. Kedua, bisa jadi, sang suami susah mengekspresikan perasaan. Dengan IQ yang tidak hebat, saya berpikir, manusia di mana pun kok rasanya lebih suka menerima pujian dibandingkan caci maki.
            Komplimen itu menyemangati hidup dan bentuk sebuah penghargaan. Nah, menerima pasangan dengan segala sifatnya tidak diartikan untuk tidak mau berubah. Kalau susah mengekspresikan perasaan, belajar. Jangan orang disuruh menerima semata.