Kamis, 13 Agustus 2015

Kaderisasi

Oleh Samuel Mulia
Di hari orang mencontreng, saya mendapat kiriman SMS. Efeknya selalu sama saja. Membuka batin, eh… menampar sekaligus. Maka saya memutuskan membagikan SMS ini pada hari libur ini. Saya tak tahu persis apa hari Minggu sekarang cocok untuk disebut hari libur karena sudah dua hari minggu saya bekerja pontang-panting. ”Itu mah salah elo sendiri mau kerja di hari libur,” teriakan suara dari dalam hati, seperti biasa.
SMS-nya memiliki pesan singkat bahwa kaderisasi itu penting. Mempersiapkan generasi selanjutnya itu penting. Jadi jangan sampai saya mangkat, terus tak ada yang meneruskan. Saya terusik bukan karena kaderisasinya, tetapi malah saya seperti disetrum terus berpikir, ”Memang saya siap diganti?” Giliran saya yang keder. Jadi saya melakukan kaderisasi, dan pada waktu yang bersamaan saya keder sendiri, saya melakukan kederisasi.

Makin digosok makin asyik
Saya senang mengajar, saya senang melihat ada orang bisa naik kelas. Pengetahuannya bisa bertambah. Bukan soal hanya berhitung, tetapi menolong orang untuk mampu melihat kemampuan dirinya sendiri, kemudian dioptimalkan dan mereka siap menuai. Mengajar itu sebuah kenikmatan, seperti masturbasi. Kali ini masturbasi intelektual. Makin digosok main asyik.

Tentu dengan mengajar, manusia yang saya ajari menjadi tahu dari tidak tahu. Tetapi SMS hari itu membuat saya bertanya lagi. ”Bagaimana kalau yang diberi tahu dari tidak tahu menjadi lebih tahu dari yang memberi tahu?” Maksud saya, kalau yang dikasih tahu menjadi sebuah ancaman, mampuslah akyu.

Kemudian saya teringat ketika mengundurkan diri dari pekerjaan. Dari sebuah posisi yang cukup tinggi. Saya pikir keluar dari pekerjaan itu yaaa… biasa- biasa saja, sama seperti ringannya mengirimkan surat pengunduran diri. Waktu saya membereskan meja penguasa di hari terakhir, masih belum ada perasaan yang mengganggu. Tetapi setelah memencet tombol lift untuk turun ke lobi dan tak kembali lagi, saya seperti melayang rasanya.
Perasaan campur aduk seperti nasi campur. Senang, sedih, jengkel, kesepian, merasa tak laku lagi, tak dihargai, dan sejuta rasa lain. Dan waktu saya meninggalkan kantor, memang tak ada siapa-siapa. Tak ada satu orang pun yang menemani. Beda sekali ketika saya masih jadi penguasa. Tas tangan saya saja ada yang mau membantu menentengnya sambil berkata, ”Selamat pagi, Bos.” Sementara nama saya bukan Bos. Selamat saat itu belum ada yang mau menggendong saya ke mana-mana.

Tiga bulan yang lalu saya hadir di sebuah acara kumpul-kumpul kaum mapan Jakarta. Satu di antara sekian pejabat dan manusia kondang hadir di sana. Saya sedih melihatnya. Ia datang tanpa ajudan, tak ada satu pun yang memedulikannya, kuli tinta yang senangnya menyerbu manusia kondang tak menggubris ketika ia datang. Waktu makan malam tiba, ia mendapat tempat duduk di belakang, seperti manusia yang merasa tak dipentingkan, tetapi harus diundang supaya santun kelihatannya. Padahal, dengan mengundang dan menempatkan dirinya di belakang, buat saya itu saja sudah tak santun.

Lebih cepat lebih baik!
Tak ada satu orang yang datang kepadanya, saya memperhatikan, ia sempat bingung mau ngapain. Satu selebriti kondang wanita, yang ayu dan memang berhati baik yang juga saya kenal cukup lama, datang menghampirinya dan menemaninya. Melihat itu saya sedih sekali. Kemudian saya ingat akan masa lalu tokoh kondang ini. Berjuta lampu kilat, berjuta kali masuk koran dan majalah papan atas, berjuta kali datang di undangan A dan undangan B, sekarang cuma seperti saya. Tak ada yang peduli. Ia seperti daun yang jatuh dan menguning di musim gugur setelah pernah menjalani kehidupan seperti daun hijau yang segar dan berdiri tegak di musim panas.

Malam itu masih di pesta, saya tak bisa berkonsentrasi pada acara yang disajikan. Saya berpikir apakah kalau sekarang saya bisa duduk di baris kedua dari depan, berkumpul dan duduk bersama bankir kondang, apakah dua tahun lagi atau katakan dua hari lagi saya akan dipedulikan? Apakah saya akan tetap diundang, tetapi bukan prioritas? Saya kemudian berpikir, kalau saja saya ini tak punya kolom di koran sekondang Kompas, apakah orang mau menghargai saya? Mau mengundang saya ke sana dan kemari? Kalaupun mereka mau, itu karena mereka tahu apa kemampuan saya, atau karena saya besar gara-gara Kompas?

Ternyata kaderisasi itu lebih gampang daripada melihat dan melakoni jalan yang menurun dan tak dipedulikan. Jadi, kalau kaderisasi itu perlu, yang lebih perlu lagi menyiapkan jalan turun buat yang membuat kaderisasi. Mungkin sudah datang waktunya program kaderisasi diadakan bersamaan dengan program kederisasi. Jadi istilah post power syndrome paling tidak bisa dikurangi jumlahnya, paling tidak yang sedang tidak dipedulikan merasa tetap tegar dan menerima kenyataan. Supaya yang turun dan tak bisa menerima kenyataan paling tidak tak membuat keonaran dalam rumah tangga, menjadi orang yang sarkastis, yang tabiat dan mulutnya sebelas dua belas dengan pisau atau silet atau apa saja yang bisa membunuh.

Saya ingat sebuah kalimat kalau tak salah sebuah pepatah China. Begini bunyinya, tak ada pesta yang tak pernah usai. Mungkin mudah mengatakan dan mudah dimengerti. Tetapi saya pernah menjalaninya, saya tersakiti karena harus usai. Mestinya, saya harus tahu dan menyadari dari sejak mula, dari sejak saya mematut di cermin agar tampilan saya prima saat saya tiba di pesta, kalau akan datang waktunya saya harus siap pulang ke rumah.
Mungkin saya sudah sadar sejak saya mematut di depan cermin, kemudian tak sadarkan waktu pulang karena pengaruh minuman beralkohol yang memabukkan. Mungkin juga sama memabukkannya saat saya mendapat fasilitas saat masih punya kekuasaan. Program kader dan kederisasi sebaiknya secepatnya harus dipikirkan. Lebih cepat lebih baik!
SAMUEL MULIA Penulis Mode dan Gaya Hidup

KILAS PARODI
Kalau Seandainya Harus Turun Gunung
1. Sebetulnya siapkan mental Anda sebelum naik gunung, dan sadari sejak awal, sejak Anda masih berdiri di kaki gunung, kalau suatu hari akan datang masanya Anda kembali kepada tempat Anda berdiri sebelum naik gunung. Ingat itu kalau Anda kembali ke tempat awal, itu masih bagus. Jangan sampai waktu Anda turun, Anda turun dengan cara menggelinding atau digelindingkan orang. Terus nyasar masuk jurang. Itu nelongso namanya. Sudah digelindingkan tur masuk jurang. Yaaa… kalau-kalau cuma patah tulang, jangan sampai nyawa Anda melayang.

2. Jangan pernah mengatakan dengan mudah kalau turun gunung bukan masalah. Itulah masalah terbesar ketika Anda dengan mudah mengatakan tak masalah. Anda bisa mengatakan demikian karena waktu itu Anda masih berdiri di kaki gunung. Tetapi saat mendaki, pengalamannya menjadi berbeda. Apa yang diucapkan di kaki dan perut gunung itu akan berbeda seperti kaki dan perut. Di perut kemungkinan ada banyak kemudahan, kenikmatan tiada tara yang membuat Anda merasa naik gunung itu so dekat, so pasti, so mudah.

3. Waktu mendaki, sebaiknya pasang mata dan pasang telinga. Saya diingatkan harus menjadi manusia yang cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Cerdik dan tulus itu baik, cuma saya juga bingung kalau ular itu kualitas cerdiknya kayak apa ya? Cerdik benar cerdik, atau cerdik keculas-culasan? ”La wong sudah cerdik kok ya culas. Kueku wes geblek ya ono-ono wae. Culas ya culas, cerdik ya cerdik,” suara nurani saya kalau sudah ikut-ikutan selalu lebih ramai dari yang punya nurani.

4. Saya diajarkan waktu membahas siklus hidup sebuah produk, kalau produk sudah di puncak dan mulai terasa menurun awareness-nya, maka ada beberapa solusi yang bisa dilakukan. Rejuvenate kek, berteriak lagi kek, dan sejuta kek lainnya. Saya mencoba mempraktikkannya ke dalam diri saya, kalau saya menjadi tak populer lagi, tak ada yang mau mendengar lagi, awareness saya sudah sayup-sayup terdengar, apakah bisa saya berteriak dan meremajakan saya lagi?

”Bisa… bisa beneur. Pertama, elo jangan bedah plastik total, ingat rejuvenate itu bukan produk baru. Muke elo yang ancur dibenerin dikit, tapi nggak boleh manglingi. Yang nggak ngerti manglingi tanya sama manusia yang mengerti bahasa Jawa. Kedua, jadi simpenan pejabat kondang atau siapa saja yang kondang, terus ketiga coba-coba bunuh diri buat sensasi karena pejabatnya nggak ngaku kalau nyimpen kamu,” itu usulan nurani.

Senin, 10 Agustus 2015

Intrik dibalik calon tunggal

Calon Tunggal di Pilkada Salah Siapa?

Ikrar Nusa Bhakti ;  Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
                                                MEDIA INDONESIA, 27 Juli 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PEMILIHAN kepala daerah (Pilkada) serentak 2015 akan digelar di 169 wilayah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota. Dari 169 daerah tersebut, paling tidak ada 11 kabupaten/kota yang figur calon petahana nya kuat, yaitu Serang, Bantul, Boyolali, Surabaya, Situbondo, Banyuwangi, Pacitan, Kediri, Kutai Kartanegara, Jembrana, dan Denpasar. Belakangan diduga bahwa akan ada paling tidak tiga daerah yang mungkin akan terjadi penundaan pilkada akibat terlalu kuatnya calon petahana, yaitu di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, dan Banyuwangi, sedangkan di Kota Surabaya, walaupun figur petahananya sangat kuat, yaitu pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana, koalisi Majapahit yang terdiri atas Partai Demokrat, Gerindra, PKB, Golkar, PKS, dan PAN masih berupaya untuk memunculkan calon penantang Risma-Wisnu.

Meski jumlah daerah yang mungkin terjadi penundaan jumlahnya amatlah kecil, ini akan tetap mengganggu jalannya demokrasi kita dan proses penyerempakan pilkada di seluruh Indonesia pada 2027. Kita semua tahu bahwa pilkada serentak di 169 daerah ialah langkah awal menuju pemilu serentak di seluruh wilayah Indonesia, tahap kedua akan dilaksanakan pada 2017. Dekatnya jadwal pilkada serentak 2015 dan 2017 itu, wacana untuk menunda pilkada di beberapa wilayah pun dihembuskan oleh partai atau kelompok partai yang tidak mampu memilih pasangan bakal calon kepala daerah yang dapat menantang dan mengalahkan pasangan petahana yang kuat.

Alasan politik di balik penundaan pilkada itu ialah jika pilkada ditunda pada 2017, berarti calon petahana tidak akan memiliki posisi dan karisma politik yang cukup kuat sehingga dapat dikalahkan pada kontestasi politik tersebut. Cara perhitungan ini secara matematis politik belum tentu menjadi kenyataan, karena rakyat tentunya sudah sangat pintar sehingga mengetahui dengan pasti partai atau kelompok partai mana yang mengorbankan kepentingan rakyat dan masa depan demokrasi hanya demi meraih kekuasaan lima tahunan.

Rakyat juga tahu bahwa jika pilkada ditunda dan kepala daerah dijabat seorangcaretaker, ia tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan strategis pembangunan di wilayah itu yang berarti kepentingan rakyat akan terganggu. Wacana penundaan pilkada juga akan dinilai rakyat sebagai kebijakan pengecut dari partai atau gabungan partai yang tidak berani maju dalam kontestasi politik yang sehat dan demokratis. Pengusul atau pengusung penundaan pilkada akan dipandang sebagai politikus yang pandangan politiknya amat cupet yang hanya memperhitungkan kalah menang dalam kontestasi politik dan bukan berpikir sebagai negarawan yang melihat ke depan masa depan demokrasi kita dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Kita juga tahu wacana penundaan pilkada bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, kelompok partai yang tergabung di Koalisi Merah Putih (KMP) juga melakukan berbagai cara agar pilkada ditunda karena ada sempalan dua partai yang tidak dapat mengajukan calonnya di pilkada, yakni Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Itu pula yang mendasari KMP yang mengadakan pertemuan-pertemuan khusus antara komisi III DPR-RI, KPU, Bawaslu, dan kementerian Dalam Negeri untuk memungkinkan Golkar dan PPP mengajukan calon yang diajukan secara terpisah oleh pengurus partai yang terpecah, asalkan nama yang mereka ajukan sama. Kutak-katik aturan pilkada yang tidak sesuai dengan undang-undang ini mereka buat agar kepentingan politik dari faksi Golkar dan PPP yang ada di KMP terjaga.

Namun, adalah kenyataan bahwa tidak sedikit bakal calon kepala daerah dari Partai Golkar yang memilih untuk menjadi calon independen atau mencari kendaraan politik dari partai lain, seperti PDIP, Gerindra, atau PKS. Itu yang menjadikan persoalan pengajuan daftar pasangan calon kepala daerah menjadi rumit dan bukan mustahil merugikan Partai Golkar. Tanpa ada kearifan politik di kalangan para pengurus teras Partai Golkar, partai ini akan mengalami kerugian politik yang amat dahsyat pada pilkada serentak 2015. Itu juga akan mengurangi modal politik Golkar pada pemilu nasional serentak pada 2019.

Kegagalan partai politik

Bila kita kaji lebih lanjut, upaya untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2015, baik secara keseluruhan di semua daerah atau hanya di sebagian daerah pemilihan, menunjukkan betapa sebagian partai politik di Indonesia tidak menjalankan peran dan fungsinya secara baik. Ada beberapa butir penting yang patut dikemukakan di sini.

Pertama, partai-partai politik di Indonesia secara keseluruhan ialah institusi yang belum melakukan reformasi politik di dalam dirinya sendiri. Di kala kita sejak 1998 bicara mengenai desentralisasi dan otonomi daerah di bidang pemerintahan, partai-partai politik justru memperkuat konsep sentralisasi kekuasaan di tangan Dewan Pimpinan Pusat Partai. Dalam menentukan para bakal calon kepala daerah juga sangat ditentukan oleh DPP partai. Ini semakin diperkuat di dalam undang-undang politik yang terkait dengan parpol dan pilkada. Para pembuat UU itu ialah pemerintah dan anggota DPR yang berasal dari partai-partai politik. Partai Demokrat di era Anas Urbaningrum sempat menerapkan wacana otonomi pengurus daerah dalam menentukan bakal calon kepala daerah. Namun, sejak Anas digulingkan dan digantikan Susilo Bambang Yudhoyono, penguatan posisi DPP dalam penentuan bakal calon kepala daerah kembali terjadi.

Kedua, walaupun PDIP melakukan sekolah partai untuk mempersiapkan para bakal calon kepala daerah yang berasal dari partainya, secara keseluruhan semua partai belum melakukan pendidikan politik, rekrutmen politik, dan kaderisasi politik yang baik. PKS mungkin ialah partai yang masih melakukan kaderisasi politik secara berjenjang dengan baik. Namun, dalam hal penentuan siapa menjadi bakal calon kepala daerah, semua partai masih mengandalkan ‘politik keroyokan’ agar dukungannya semakin kuat menghadapi satu atau gabungan parpol yang memiliki calon amat kuat untuk memenangi pilkada.

Ketiga, para pengurus di sebagian besar parpol lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala daerahnya atas dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik, ketimbang keberanian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah. Padahal, kita tahu bahwa seorang calon kepala daerah yang kuat, apakah petahana atau bukan, dapat saja dikalahkan seorang calon underdog seperti yang terjadi dalam kasus pilgub di Jawa Barat saat Ahmad Heryawan mengalahkan Agum Gumelar, atau saat Ganjar Pranowo meluluhlantakkan kekuatan petahana Bibit Waluyo pada Pilgub Jawa Tengah.

Keempat, sebagian besar pengurus partai atau bahkan bakal calon kepala daerah tidak jarang lebih fokus pada persoalan finansial ketimbang keseriusan untuk ikut kontestasi politik di pilkada. Maksudnya, ada bakal calon yang memiliki massa pendukung cukup banyak, tetapi bersedia untuk tidak maju pilkada karena ada calon kuat yang memberikan ‘mahar politik’ yang jumlahnya sampai puluhan miliar rupiah. Sebaliknya, ada pula kelompok partai atau calon yang bersedia maju sebagai ‘calon boneka’ untuk menantang calon petahana yang kuat agar persyaratan dua calon kepala daerah terpenuhi.

Kelima, hingga saat ini, semua partai di Indonesia tidak berusaha melakukan rekayasa politik melalui undang-undang ataupun peraturan partai yang memungkinkan murahnya penyelenggaraan pemilu dalam bentuk apa pun, apakah pemilu legislatif, pemilu presiden langsung, maupun pilkada. Uang masih menjadi kendala atau bahkan alat dagang politik.

Reformasi total

Penguatan demokrasi di Indonesia akan terjadi bila partai-partai politik dapat mereformasi diri mereka secara total. Desentralisasi institusi partai ialah suatu keniscayaan bila kita menginginkan hiruk pikuk politik di pusat partai tidak berdampak negatif pada proses politik di daerah.

Pemerintah juga harus memberikan subsidi finansial yang cukup agar partai-partai politik dapat melakukan fungsi dan perannya secara baik dalam melakukan komunikasi politik, pendidikan politik, pengendalian konfl ik, rekrutmen politik, kaderisasi, dan sebagainya. Itu juga akan mengurangi politik uang secara signifi kan dalam pemilu nasional dan pilkada.

Dengan demikian, wacana untuk menunda pilkada karena hanya ada calon tunggal tidak akan terulang kembali. Para pengurus di sebagian besar parpol lebih banyak mengajukan para bakal calon kepala daerahnya atas dasar hitung-hitungan untung rugi finansial dan kalah menang politik, ketimbang keberanian untuk maju terus pantang mundur, menang atau kalah.